Masa muda adalah masa transisi dan pencarian identitas diri. Masa ini begitu krusial, karena menjadi penentu kelanjutan kualitas hidup. Kualitas masa tua seseorang, tergantung bagaimana ia menjajaki, melewati dan mengisi masa mudanya.
Hal yang paling sering terjadi dalam dunia anak muda adalah kesembronoan dalam melangkah, terlalu cepat mengambil tindakan tanpa berpikir panjang, dan emosional menghadapi masalah. Tak ayal jika banyak dari mereka salah melangkah, masuk dalam jebak dunia negatif yang seharusnya dapat mereka hindari, andai mereka matang menimbang.
Dalam sebuah adagium Arab dipesankan: Yas’al-fatâ li umûrin qad yadhurru bihi, wa laisa ya’lamu mâ ya`tî wa mâ yada’ (Pemuda biasanya akan berupaya melakukan hal-hal yang terkadang akan membahayakan diri mereka, dan ia tak tahu apa yang akan terjadi dan yang telah lalu).
Dalam bahasa gaul sering didengar istilah “nyantai”, “asyik-asyik aja”, atau istilah-istilah lain yang mendorong para pemuda untuk terus mengikuti arus kehidupan tanpa upaya menata prospek hidupnya. Walhasil, kualitas dirinya pun tak pernah meningkat, dan cenderung berjalan di tempat, atau bahkan set back (berjalan mundur) dalam berbagai aspek, pendidikan, wawasan maupun moral kepribadian.
Banyak tantangan dan kendala yang dihadapi kaum muda. Salah satunya adalah rasa khawatir (worry/raib) atau pula takut (fear/khauf). Dalam sebuah adagium, kita telah diajarkan: Da’ mâ yurîbu wa khudz fîmâ khuliqta lahu, la’alla qalbaka bil-`îmâni yantafi’ (Hindari apa yang engkau ragukan, dan ambillah apa yang memang telah diciptakan untukmu. Semoga hatimu akan menjadi bermanfaat dengan iman).
slam telah mengajarkan kita cara menghindari ketakutan dan keragu-raguan. Bukan dengan sembarang atau sembrono dalam berkeputusan. Rasulullah SAW dalam sebuah Hadisnya mengingatkan: ”Yang halal itu telah jelas, dan yang haram juga jelas, namun di antara keduanya terdapat banyak hal-hal yang meragukan.”
Kekhawatiran dan ketakutan pemuda untuk terjebak dalam hal-hal mutashâbihât adalah sikap positif. Namun yang banyak terjadi justru keberanian dan kenekadan mereka menembus hal-hal mutashâbihât ini tanpa mempertimbangkan kehalalan dan keharaman normanya.
Pendidikan, wawasan agama dan moral sosial yang telah diajarkan orangtua, keluarga dan lembaga pendidikan, tentu tidak akan berarti banyak, jika lingkungan yang melingkupi diri pemuda tidak diperhatikan. Selektif dalam memilih kawan adalah sebuah kiat untuk tidak salah gaul. Kehati-hatian memilih ini kelak akan menuai hasil positif, yaitu terbentuknya pribadi muda yang shalih, lurus budi, luruh pekerti, dan berimbang dalam kemampuan intelektual (IQ) dan spiritual (SQ).
Selain itu, berhati-hati dalam menentukan kawan atau jalan hidup, dan berpikir positif akan akibat, merupakan tanggungjawab pemuda untuk membentuk pribadinya yang berkualitas. Lau kâna lil-mar`i fikrun fî ‘awâqibihi, mâ syâna akhlâquhu hirshun walâ thama’ (Andai seseorang memiliki pikiran/pertimbangan akan akibat yang akan dipikulnya, tentu akhlaknya tidak akan terliputi oleh sifat kebakhilan dan keserakahan).
Dengan kata lain, pemuda yang berpikir dengan orientasi agamis dan futuristik terhadap dampak dan manfaat tindakanannya, termasuk dalam hidup dan memilih kawan, tentu ia tidak akan serakah untuk meraup seluruh kenikmatan hidup bebas masa mudanya. Ia akan hati-hati melangkah, bergaul dan memilih lingkungan. Karena ia sadar, apa yang akan tumbuh dalam dirinya kelak, adalah berkat apa yang ia alami dan lalui saat ini.
Mari selami pesan Rasulullah SAW dalam beberapa sabdanya: ”Sesungguhnya perumpamaan sahabat yang baik dengan sahabat yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi, jika ia tidak memberimu, kamu (mungkin) akan membeli darinya, atau (paling tidak) kamu akan merasakan aroma harum darinya. Sedangkan pandai besi, jika pakaianmu tidak terbakar karena percikan apinya, (atau) kamu pasti akan mendapatkan bau yang kurang sedap darinya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Juga sabda beliau: ”Keberagamaan seseorang itu berada pada sahabatnya. Maka hendaklah setiap orang dari kalian melihat siapa yang menjadi sahabatnya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar