Oleh: Ahmad Taufiq Abdurrahman MA
Diterbitkan dalam Topik Utama Majalah Gontor edisi Agustus 2008
Kekerasan intelektual usungan kalangan Muslim liberal adalah hasil olah kaum orientalis. Gerakan ini akan menggiring kepada “pembubaran Islam”.
Dalam sejarah agama-agama, perang pemikiran menjadi musuh terbesar yang akan mengeleminasi peran dan eksistensi agama tertentu dari ranah kehidupan umatnya. Semua agama besar, seperti Kristen khususnya, telah berpengalaman menghadapi pahitnya hasil perang ini. Sekularisme telah menjadi momok besar yang meruntuhkan hegemoni Kristen di Eropa. Hindu di India sangat terancam dengan “negara sekuler” yang menyempitkan peluang mereka membentuk “negara Hindu Raya” di anak benua India.
Dalam sudut pandang keagamaan, paham liberalisme telah terbukti membawa dampak negatif bagi sistem keagamaan masyarakat Barat, seperti mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian total terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, lembaga legal dan lembaga sosial. Dalam etika kemasyarakatan, liberalisme budaya menentang keras campur tangan pemerintah yang mengatur sastra, seni, akademis, perjudian, seks, pelacuran, aborsi, keluarga berencana, alkohol, ganja, dan barang-barang yang dikontrol lainnya.
Untuk menjaga tatanan Islam Indonesia dari dampak ini, menjadi lumrah kiranya jika MUI sedari dini mengingatkan kaum Muslim Indonesia akan bahaya liberalisme, lantas mengharamkannya. Kekerasan intelektual yang dilakukan musuh-musuh Islam, utamanya para orientalis, yang menggunakan bingkai isme-isme tersebut melalui tangan-tangan kelompok atau aliran yang berbaju Islam. Kiat ini utamanya untuk menghancurkan sendi fundamental umat Islam, yaitu ukhuwah. Perang saudara akan timbul, lantas para musuh Islam itu akan lebih mudah memerangi umat Islam yang memang sudah kelelahan oleh konflik internalnya sendiri.
Kejatuhan Turki Utsmani yang menandai akhir kejayaan Islam menguasai seperempat dunia harus dijadikan pelajaran. Imperium itu hancur oleh pilah-pilah sektarian yang digemboskan oleh sekutu-sekutu penjajah Eropa untuk menancapkan kuasa di bilik-bilik negara-negara Islam yang terpecah melalui sekularisme.
Wajar kiranya jika Adnin Armas, Direktur Eksekutif INSISTS menganggap bahwa Islam saat ini telah kalah dari Barat dalam perang pemikiran ini. Karena mereka, para orientalis Barat -“guru” para liberalis Islam Indonesia-, telah menguasai lini terdepan umat Islam, yaitu sektor pendidikan. Mereka bisa “mengajarkan” Islam kepada orang-orang Islam lewat ratusan ”retail” calon cendekiawan Muslim liberal yang belajar di institusi-institusi mereka. ”Studi Islam banyak berdiri di Barat, namun pusat studi Barat nyaris tiada di Indonesia,” sesalnya. Kekalahan ini membuat umat Islam menjadi terjajah.
Lemahnya sektor ini, ditambah dengan kekuatan gempuran dahsyat mereka melalui media massa, memudahkan masuknya arus pemikiran “luar” dan merasuki wacana berpikir generasi penerus kaum Muslim Indonesia. Menurut Prof Dr Arif Rahman Mpd, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia UNESCO, kondisi ini rentan menghasilkan generasi berpemikiran “liar”, sekuler dan liberal yang bertentangan dengan Undang-undang Pendidikan no. 20 tahun 2003 yang mengamanatkan lahirnya anak didik berakhlak mulia.
Dalam bidang budaya, liberalisasi radikal umumnya menentang keras segala campur tangan pemerintah dalam hal-hal pribadi, termasuk dalam urusan seks. Tak heran jika undang-undang yang membatasi gerakan pornografi, pornoaksi, anarkisme, sadisme dan tindakan-tindakan yang menyimpang lainnya belum terwujudkan hingga kini. Padahal, serangan pemikiran secara halus dalam sektor ini, khususnya melalui pornografi, menurut Arif Rahman akan menghambat laju pendidikan yang bermoral, bahkan akan menjadi perusak sistem pendidikan di Indonesia.
Kerusakan nyata secara sosial terbukti. Insiden Monas beberapa waktu lalu, menurut DR Hamid Fahmi Zarkasyi merupakan puncak kekerasan intelektual akibat penghinaan dan cemoohan yang digulirkan kalangan liberal Muslim terhadap keimanan umat Islam Indonesia. Dalam kasus ini, Hamid menilai adanya upaya eksternal mendiskreditkan Islam sebagai pihak tertuduh yang mencetuskan kekerasan. ”Mereka, kelompok liberal, berupaya menyudutkan Islam agar direspon dengan kekerasan,” ujarnya.
Kekerasan ini hanya merupakan bagian dari gerakan ghazwul fikri (perang pemikiran) terhadap Islam yang memiliki dua sasaran utama: mengeliminasi nilai-nilai Islam agar tidak berkembang dan pilar-pilar fundamental (mabâdi`)nya dapat dihancurkan, serta memberi alternatif fikrah, ideologi, sistem yang non-islami. Hamid mengingatkan, ada empat langkah yang digunakan dalam perang ini: at-tasyqîq, menciptakan keraguan dan “krisis” keyakinan umat Islam terhadap kebenaran agamanya; at-Tasywîh, menghilangkan kebanggaan terhadap Islam dengan memberi gambaran buruk terhadap ajaran Islam dan pengikutnya, agar muncul rasa rendah diri (inferiority), benci terhadap apa yang dimiliki (warisan peradaban), kagum kepada agama, ideologi, budaya, adat dan gaya hidup selain Islam.
Selain itu, at-tadzwîb, yang merupakan gerakan pelarutan budaya dan pemikiran. Sasarannya, agar tak ada lagi jarak pemikiran dan budaya kaum Muslimin dengan pemikiran dan budaya kufur. Terakhir, at-taghrîb, yaitu upaya mengeliminasi Islam degan mendorong kaum Muslimin agar mau menerima pemikiran dan perilaku Barat. Nilai-nilai Islam dikeringkan dari jiwa-jiwa kaum Muslimin, lalu diisi dengan nilai-nilai Barat. Dampaknya, nilai-nilai orisinalitas Islam akan hilang, perilaku dan budaya asing pun menguasai.
Menghadapi upaya deislamisasi ini, menurut Adnin Armas, kaum Muslimin perlu menyeleksi secara ketat unsur-unsur asing dalam studi Islam. Karena dari sanalah pangkal masuknya “pembaratan” para pemikir Muslim liberal hasil olah tangan kaum orientalis. Dan sumber-sumber pemikiran Islam yang terbaratkan harus dibongkar habis. Jika tidak, gerakan liberalisasi pemikiran Islam akan menggiring kepada “pembubaran Islam”, seperti mimpi buruk Kristen yang “dibubarkan” liberalisme umatnya sendiri.
Kekerasan Intelektual dalam Sejarah
Kekerasan intelektual dalam perjalanan sejarah umat Islam tak terbantahkan dan memiliki riwayat panjang. Dimulai sejak pertikaian Ali ibn Abu Thalib RA versus Muawiyah dengan puncak tahkîm (arbitrasi) yang merupakan fitnah kubra (fitnah terbesar) intelektual Islam pertama, karena masing-masing pihak melegitimasi diri menggunakan nash al-Qur’an. Begitu pula dengan gerakan takfîr wa al-hijrah yang diusung kalangan Khawarij yang sangat mudah mengkafirkan orang yang “sedikit” berseberangan dengan pemikiran atau keyakinan mereka.
Kekerasan seperti ini terus terjadi dan mendahsyat ketika ditarik ke dalam ranah politik kekuasaan. Tragedi mihnah (inkuisi) atau tindakan pemaksaan, teror dan penyiksaan oleh tiga penguasa Dinasti Abbasiyah: al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Wasiq terhadap para ulama karena beda pendapat seputar "keterciptaan/kemakhlukan al-Qur’an” (khalq al-Qur`ân), paham resmi negara yang Mu’tazilah adalah contoh klasiknya. Banyak ulama, terutama para ahli Hadis yang menolak paham ini menjadi korban. Meski selamat, Imam Ibnu Hanbal telah disiksa dan dibiarkan meninggal dunia dalam keterasingan tahanan rumah.
Melihat pola gerak liberalitas pemikiran Islam yang ada di Indonesia saat ini, bayangan kekerasan tragedi mihnah dikhawatirkan akan terulang kembali jika kalangan liberal ini memegang tampuk kekuasaan. Walau secara kualitas dan daya olah pemikiran liberalisme mutakhir berbeda dengan pemikiran kaum Mu’tazilah yang mendapat oase segar dari penguasa Abbasiyah pada Abad Kedua Hijriah itu. Namun tradisi dan ciri pemikiran keduanya sama yang cenderung keras mengedepankan nalar, serta sangat kokoh menolak dan menyalahkan pemikiran sebelumnya.
Politisasi kekerasan pemikiran bukan hanya berbahaya jika dikuasai kalangan rasionalis atau liberalis saja, tapi juga jika jatuh ke tangan Ahlussunah yang picik. Kasus nakbah (malapetaka) yang menimpa Ibnu Rusyd, filosof Muslim sang Qâdhi al-Qudhât (hakim agung) Kordoba, buktinya. Akibat menjalarnya pandangan-pandangan filosofis yang menyerang para ahli fikih dan Hadis, tangan kekuasaan khalifah pun melarangan peredaran buku-buku filsafat dan membakarnya, termasuk karya-karya filsafat Ibnu Rusyd.
Dalam perjalanan Islam modern juga tercatat banyak kasus kekerasan intelektual yang berbuntut pada kekerasan fisik. Seperti penggantungan tokoh liberal Sudan Mahmud Muhammad Taha, takfîr terhadap Khalid Abu Fadhl, Hamid Nasr Abu Zaid hingga Sobur Syahin di Mesir, dan lain sebagainya.
Diterbitkan dalam Topik Utama Majalah Gontor edisi Agustus 2008
Kekerasan intelektual usungan kalangan Muslim liberal adalah hasil olah kaum orientalis. Gerakan ini akan menggiring kepada “pembubaran Islam”.
Dalam sejarah agama-agama, perang pemikiran menjadi musuh terbesar yang akan mengeleminasi peran dan eksistensi agama tertentu dari ranah kehidupan umatnya. Semua agama besar, seperti Kristen khususnya, telah berpengalaman menghadapi pahitnya hasil perang ini. Sekularisme telah menjadi momok besar yang meruntuhkan hegemoni Kristen di Eropa. Hindu di India sangat terancam dengan “negara sekuler” yang menyempitkan peluang mereka membentuk “negara Hindu Raya” di anak benua India.
Dalam sudut pandang keagamaan, paham liberalisme telah terbukti membawa dampak negatif bagi sistem keagamaan masyarakat Barat, seperti mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian total terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, lembaga legal dan lembaga sosial. Dalam etika kemasyarakatan, liberalisme budaya menentang keras campur tangan pemerintah yang mengatur sastra, seni, akademis, perjudian, seks, pelacuran, aborsi, keluarga berencana, alkohol, ganja, dan barang-barang yang dikontrol lainnya.
Untuk menjaga tatanan Islam Indonesia dari dampak ini, menjadi lumrah kiranya jika MUI sedari dini mengingatkan kaum Muslim Indonesia akan bahaya liberalisme, lantas mengharamkannya. Kekerasan intelektual yang dilakukan musuh-musuh Islam, utamanya para orientalis, yang menggunakan bingkai isme-isme tersebut melalui tangan-tangan kelompok atau aliran yang berbaju Islam. Kiat ini utamanya untuk menghancurkan sendi fundamental umat Islam, yaitu ukhuwah. Perang saudara akan timbul, lantas para musuh Islam itu akan lebih mudah memerangi umat Islam yang memang sudah kelelahan oleh konflik internalnya sendiri.
Kejatuhan Turki Utsmani yang menandai akhir kejayaan Islam menguasai seperempat dunia harus dijadikan pelajaran. Imperium itu hancur oleh pilah-pilah sektarian yang digemboskan oleh sekutu-sekutu penjajah Eropa untuk menancapkan kuasa di bilik-bilik negara-negara Islam yang terpecah melalui sekularisme.
Wajar kiranya jika Adnin Armas, Direktur Eksekutif INSISTS menganggap bahwa Islam saat ini telah kalah dari Barat dalam perang pemikiran ini. Karena mereka, para orientalis Barat -“guru” para liberalis Islam Indonesia-, telah menguasai lini terdepan umat Islam, yaitu sektor pendidikan. Mereka bisa “mengajarkan” Islam kepada orang-orang Islam lewat ratusan ”retail” calon cendekiawan Muslim liberal yang belajar di institusi-institusi mereka. ”Studi Islam banyak berdiri di Barat, namun pusat studi Barat nyaris tiada di Indonesia,” sesalnya. Kekalahan ini membuat umat Islam menjadi terjajah.
Lemahnya sektor ini, ditambah dengan kekuatan gempuran dahsyat mereka melalui media massa, memudahkan masuknya arus pemikiran “luar” dan merasuki wacana berpikir generasi penerus kaum Muslim Indonesia. Menurut Prof Dr Arif Rahman Mpd, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia UNESCO, kondisi ini rentan menghasilkan generasi berpemikiran “liar”, sekuler dan liberal yang bertentangan dengan Undang-undang Pendidikan no. 20 tahun 2003 yang mengamanatkan lahirnya anak didik berakhlak mulia.
Dalam bidang budaya, liberalisasi radikal umumnya menentang keras segala campur tangan pemerintah dalam hal-hal pribadi, termasuk dalam urusan seks. Tak heran jika undang-undang yang membatasi gerakan pornografi, pornoaksi, anarkisme, sadisme dan tindakan-tindakan yang menyimpang lainnya belum terwujudkan hingga kini. Padahal, serangan pemikiran secara halus dalam sektor ini, khususnya melalui pornografi, menurut Arif Rahman akan menghambat laju pendidikan yang bermoral, bahkan akan menjadi perusak sistem pendidikan di Indonesia.
Kerusakan nyata secara sosial terbukti. Insiden Monas beberapa waktu lalu, menurut DR Hamid Fahmi Zarkasyi merupakan puncak kekerasan intelektual akibat penghinaan dan cemoohan yang digulirkan kalangan liberal Muslim terhadap keimanan umat Islam Indonesia. Dalam kasus ini, Hamid menilai adanya upaya eksternal mendiskreditkan Islam sebagai pihak tertuduh yang mencetuskan kekerasan. ”Mereka, kelompok liberal, berupaya menyudutkan Islam agar direspon dengan kekerasan,” ujarnya.
Kekerasan ini hanya merupakan bagian dari gerakan ghazwul fikri (perang pemikiran) terhadap Islam yang memiliki dua sasaran utama: mengeliminasi nilai-nilai Islam agar tidak berkembang dan pilar-pilar fundamental (mabâdi`)nya dapat dihancurkan, serta memberi alternatif fikrah, ideologi, sistem yang non-islami. Hamid mengingatkan, ada empat langkah yang digunakan dalam perang ini: at-tasyqîq, menciptakan keraguan dan “krisis” keyakinan umat Islam terhadap kebenaran agamanya; at-Tasywîh, menghilangkan kebanggaan terhadap Islam dengan memberi gambaran buruk terhadap ajaran Islam dan pengikutnya, agar muncul rasa rendah diri (inferiority), benci terhadap apa yang dimiliki (warisan peradaban), kagum kepada agama, ideologi, budaya, adat dan gaya hidup selain Islam.
Selain itu, at-tadzwîb, yang merupakan gerakan pelarutan budaya dan pemikiran. Sasarannya, agar tak ada lagi jarak pemikiran dan budaya kaum Muslimin dengan pemikiran dan budaya kufur. Terakhir, at-taghrîb, yaitu upaya mengeliminasi Islam degan mendorong kaum Muslimin agar mau menerima pemikiran dan perilaku Barat. Nilai-nilai Islam dikeringkan dari jiwa-jiwa kaum Muslimin, lalu diisi dengan nilai-nilai Barat. Dampaknya, nilai-nilai orisinalitas Islam akan hilang, perilaku dan budaya asing pun menguasai.
Menghadapi upaya deislamisasi ini, menurut Adnin Armas, kaum Muslimin perlu menyeleksi secara ketat unsur-unsur asing dalam studi Islam. Karena dari sanalah pangkal masuknya “pembaratan” para pemikir Muslim liberal hasil olah tangan kaum orientalis. Dan sumber-sumber pemikiran Islam yang terbaratkan harus dibongkar habis. Jika tidak, gerakan liberalisasi pemikiran Islam akan menggiring kepada “pembubaran Islam”, seperti mimpi buruk Kristen yang “dibubarkan” liberalisme umatnya sendiri.
Kekerasan Intelektual dalam Sejarah
Kekerasan intelektual dalam perjalanan sejarah umat Islam tak terbantahkan dan memiliki riwayat panjang. Dimulai sejak pertikaian Ali ibn Abu Thalib RA versus Muawiyah dengan puncak tahkîm (arbitrasi) yang merupakan fitnah kubra (fitnah terbesar) intelektual Islam pertama, karena masing-masing pihak melegitimasi diri menggunakan nash al-Qur’an. Begitu pula dengan gerakan takfîr wa al-hijrah yang diusung kalangan Khawarij yang sangat mudah mengkafirkan orang yang “sedikit” berseberangan dengan pemikiran atau keyakinan mereka.
Kekerasan seperti ini terus terjadi dan mendahsyat ketika ditarik ke dalam ranah politik kekuasaan. Tragedi mihnah (inkuisi) atau tindakan pemaksaan, teror dan penyiksaan oleh tiga penguasa Dinasti Abbasiyah: al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Wasiq terhadap para ulama karena beda pendapat seputar "keterciptaan/kemakhlukan al-Qur’an” (khalq al-Qur`ân), paham resmi negara yang Mu’tazilah adalah contoh klasiknya. Banyak ulama, terutama para ahli Hadis yang menolak paham ini menjadi korban. Meski selamat, Imam Ibnu Hanbal telah disiksa dan dibiarkan meninggal dunia dalam keterasingan tahanan rumah.
Melihat pola gerak liberalitas pemikiran Islam yang ada di Indonesia saat ini, bayangan kekerasan tragedi mihnah dikhawatirkan akan terulang kembali jika kalangan liberal ini memegang tampuk kekuasaan. Walau secara kualitas dan daya olah pemikiran liberalisme mutakhir berbeda dengan pemikiran kaum Mu’tazilah yang mendapat oase segar dari penguasa Abbasiyah pada Abad Kedua Hijriah itu. Namun tradisi dan ciri pemikiran keduanya sama yang cenderung keras mengedepankan nalar, serta sangat kokoh menolak dan menyalahkan pemikiran sebelumnya.
Politisasi kekerasan pemikiran bukan hanya berbahaya jika dikuasai kalangan rasionalis atau liberalis saja, tapi juga jika jatuh ke tangan Ahlussunah yang picik. Kasus nakbah (malapetaka) yang menimpa Ibnu Rusyd, filosof Muslim sang Qâdhi al-Qudhât (hakim agung) Kordoba, buktinya. Akibat menjalarnya pandangan-pandangan filosofis yang menyerang para ahli fikih dan Hadis, tangan kekuasaan khalifah pun melarangan peredaran buku-buku filsafat dan membakarnya, termasuk karya-karya filsafat Ibnu Rusyd.
Dalam perjalanan Islam modern juga tercatat banyak kasus kekerasan intelektual yang berbuntut pada kekerasan fisik. Seperti penggantungan tokoh liberal Sudan Mahmud Muhammad Taha, takfîr terhadap Khalid Abu Fadhl, Hamid Nasr Abu Zaid hingga Sobur Syahin di Mesir, dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar