Isu Pluralisame (mungkin kawan2 yg di indo dah tau banget soal ini, karena topik ini relatif dan selalu hangat di indo yang rawan konflik sentimen SARA) … yang bagi gue aspek urgen ini (pluralisme) sementara waktu hanya masih baru sampe tahap wacana (blon tersosialisasikan dengan baik n menyeluruh). Wacana yang bagi gue masih mengawang tinggi (hanya sebatas tatanan ilmiah aja dan hanya dapat difahami oleh kalangan tertentu) .... Karena sensitifitas, arogansi n sektarian yang sangat kental untuk budaya Indo, hingga sosialisasi akan kesadaran pengejawantahan paham pluralisme (yang pada akhirnya akan mencapai tahap "saling mengerti") pada tatanan menengah kebawah (non-intelektual, yakni ulama dan rahib2 kampung) tidak tersentuh. Yang akhirnya menjadikan jargon klasik seperti "Pancasila", "Bhineka Tunggal Ika", "Agama perdamaian" gue nilai udah sangat gagal seperti gagalnya jargon "secularisme" di India.
Menurut gue salah satu faktor kendala mendasar yang menyebabkan ini semua adalah adsurditas pelaksanaan substansi pendidikan dan pemerataannya. Subsidi pendidikan pemerintah (walau dah dinaikan) sudah sangat terlambat (karena kesalahan "terlembaga" dan "menjamur" sejarah Orba yang memfokus diri pada pola primordialisme (pola "inje’ romo" untuk menyunat daya kritis masyarakat adn budaya bodoh !!).
Beda halnya yang terjadi di India, kesadaran akan pluralisme sudah tinggi dan perhatian pemerintah terhadap aspek pendidikan merupakan perhatian nomor 2 (setelah kesehatan). Dan proses demokrasi berjalan sangat transparan (India terdata masuk 3 besar negara berkembang yang sukses demokratisasinya). Tapi sayangnya kesadaran masyarakat untuk "mendidikkan diri" masih sangat minim, karena pola dan kecenderungan model hidup keras dan praktis (lebih baik kerja dari pada belajar tinggi2 yang hasilnya sama aja … makan puri kering juga :)).
Mengutip tawaran ide Franz Magnis-Suseno dalam masalah ini (gejolak keagamaan):
1. Umat beragama harus betul2 bersedia hidup bersama dengan damai supaya mereka dapat mengembangkan toleransi positif. Umat agama lain (minoritas) tidak hanya dibiarkan, tetapi dihargai untuk hidup sesuai ajaran agamanya.
Hal ini sebenarnya udah ada secara tradisional dan alami, Cuma masih sering tertutupi oleh oleh gejolak trasformasi sosial dan pengaruh politik (hal ini sangat mirip dengan yang terjadi di India).
2. Perlu dibedakan antara pluralisme dengan "kebenaran agama". Maksudnya menerima positif dan hormat kepada agama lain bukan berarti harus mengatakan bahwa semua agama adalah sama. Dan Pluralisme juga memerlukan sikap menerima umat yang berbeda tersebut.
Masalah klasik yang sering mengendalai proses damai pertikaian keagamaan di Indo (khususnya Islam-Kristen), umumnya terjadi karena isu "misi", karena kedua agama ini (Islam n Kristen) sama2 bercorak agama misioner.
Jalan keluarnya (seperti yang lage jadi perdebatan hangat di India ini) adalah harus adanya undang2 resmi mengenai konversi atau anti-convertion. Sistem ini sebenarnya sangat arogan (walau sangat menguntungkan ideologi yang "berkuasa" secara politis), dan juga sangat menyalahi aturan konvensional HAM tentang kebebasan beriman. Tapi sepertinya model ini layak dirumuskan ulang untuk tatanan Indo. Dan undang2 ini haruslah bersifat penuh mengikat akan aturan2 peribadatan, batas2 misionari, standar toleransi, nll.
Tapi hal paling mendasar dari ide ini adalah "kepercayaan hukum". Dan gue rasa masyarakt Indo dah bete n phobia ma hukum (melek huruf tapi buta hukum … andaipun tau pasti cari2 celah lemah untuk dimanipulasi).
Pengalaman penting yang gue dapat dari hasil diskusi di kelas filsafat yang gue ambil di Dialektic School of Buddhism di Dharamsala Temple (sekolahan Dalailama) adalah pernyataan transparan bahwa agama pada dasarnya tidak salah. Tapi kesalahan terletak pada "pelangi" penafsiran akan dogma yang ada, dan penafsiran ini ditenggarai oleh latar belakang pengalaman, tingkat pendidikan (wawasan), juga kepentingan aportunis tertentu (etno-eco-politis).
Pipix
Aligarh Muslim University - India
Tidak ada komentar:
Posting Komentar