Membangun Peradaban Lewat Membaca

Oleh: Ahmad Taufiq Abdurrahman
(Diterbitkan di Majalah Edukasia, Edisi Mei 2008)

Setelah ber ’uzlah (kontemplasi) selama 40-an hari di sebuah gua di atas Bukit Hira, seorang pemuda dikagetkan oleh suara lantang yang memerintahkannya untuk melafalkan (“iqra`!”). Muhammad, pemuda itu hanya menjawab: ”Mâ ana bi-qâri`,” (Sungguh aku tak bisa membaca). Berulang kali perintah itu Jibril lontarkan, selalu saja dijawab Muhammad: ia tak bisa membaca!

Memang Muhammad adalah ummi , buta huruf, tak mengenal aksara dan cara membaca. Namun ia bukan orang bodoh. Maka Jibril menyempurnakan perintahnya untuk diikuti Muhammad: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Qs. al-‘Alaq [96]: 1-5)

Itulah wahyu pertama yang Allah SWT titahkan kepada Muhammad SAW, pertanda pengangkatannya sebagai Rasul yang mengemban misi mencerdaskan kehidupan umat manusia melalui ilmu. Wahyu yang memerintahkan Rasulullah untuk membaca itu merupakan pertanda perintah Allah agar beliau belajar membaca (qirâ`ah) . Untuk bisa membaca, beliau harus belajar (ta’allum) cara menulis, dan dari bisa membaca beliau akan mendapatkan membaca buku (kitab), dan kemudian akan memeroleh pengetahuan (‘ilm) .

Dengan kata lain, perintah ini adalah perintah untuk menuntut ilmu (belajar) dan memanfaatkan ilmu. Dan perintah ini bukan hanya berlaku eksklusif bagi diri beliau SAW, tetapi juga bagi umat dan pengikutnya. Imam al-Ghazali (Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn) menuturkan: “Jika ilmu merupakan urusan yang utama, maka belajar (menuntut ilmu) adalah upaya untuk menggapai keutamaan. Dan mengajarkan ilmu adalah memanfaatkan keutamaan itu.”

Al-Qur’an memandang ilmu sebagai sesuatu yang signifikan, bahkan urgen, untuk dimiliki umat yang mengimani kitab mulia ini. Begitu pentingnya ilmu, al-Qur’an menyebut lebih dari 900 kali ayat yang menyitir konteks ilmu. Tak ada isu melebihi isu ini yang begitu banyak al-Qur`an singgung. Bahkan ilmu termasuk dalam sifat Allah Yang Maha Mengetahui (’Âlim, ‘Alîm, dan ‘Allâm ).

Distingsi ilmu

Al-Qur’an adalah sumber ilmu dalam Islam, namun ia bukan buku ilmiah yang dapat diganti oleh sintesis ilmiah. Karena al-Qur`an adalah sumber utama, maka Islam tak mengenal distingsi (pembedaan) ilmu. Baik ilmu agama maupun dunia. Semua ilmu itu telah Allah paparkan dalam mukjizat keilmuan al-Qur`an (i’jâz ‘ilmi) , baik secara tersirat maupun tersurat.

Ilmu sangat utama bagi orang Mukmin untuk dipelajari. Iman tanpa ilmu akan hampa, ilmu tanpa iman akan buta. Perimbangan ini Allah tegaskan dalam firman-Nya: ”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kaummu, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Qs. al-Mujâdilah [58]: 11). Allah juga menitahkan sugesti pentingnya ilmu saat membedakan sosok orang berilmu dan orang yang bodoh: “Apakah sama derajat antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Qs. az-Zumar [39]: 9)

Dengan demikian, iman sangat terkait dengan ilmu. Dalam syariat Islam, ilmu tak memiliki batas akhir. Ilmu seperti lautan tanpa batas, dan tak seorangpun bisa mencapai ujungnya, sebanyak apapun ilmunya. Allah berfirman: ”…Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Qs. al-Isrâ` [17]: 85); Dan firman-Nya: ”…Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.” (Qs. Yûsuf: 76)

Karena itu, tak seharusnya pencari ilmu hanya berhenti di satu tahap menuntut ilmu. Ia harus terus berjalan menuju tahap-tahap selanjutnya yang tiada akhir. Dan agar tak salah melangkah, kita boleh menerima kata “putus” dalam menuntut ilmu hingga kita mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya. Allah berfirman: “Janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. al-Isrâ` [17]: 36)

Peradaban membaca

Perintah membaca adalah perintah paling berharga bagi umat manusia. Karena membaca merupakan pengantar manusia untuk mencapai derajat kemanusiaan yang sempurna. Sehingga tak berlebihan bila dikatakan bahwa “membaca” adalah syarat utama membangun peradaban.

Jika diakui bahwa semakin banyak membaca semakin tinggi peradaban, atau sebaliknya, maka sangat mungkin jika “manusia” akan didefinisikan sebagai “makhluk membaca”, selain fungsinya sebagai “makhluk sosial” atau “makhluk berpikir”.

Dalam sejarah umat manusia, dengan ditemukannya baca-tulis, peradaban manusia tak lagi merangkak-rangkak merambah jalan. Dengan baca-tulis, mereka mampu melahirkan lebih dari 27 peradaban sejak peradaban Samaria hingga Barat modern. Peradaban yang datang memelajari peradaban yang lalu, dari apa yang dituis oleh peradaban lalu lantas dibaca oleh yang kemudian. Berkat baca-tulis, manusia tak lagi harus memulai peradaban dari titik nol.

Setelah diciptakan, manusia diberi tugas menjadi ’abdullâh (hamba Allah) dan khalîfatullâh fil-ardh (khalifah/pemimpin Allah di muka bumi). Kesemua fungsi ini adalah konsekuensi dari potensi keilmuan yang telah Allah anugerahkan kepada manusia. Dan ilmu adalah prasyarat mutlak mencapai kesempurnaan pelaksanaan kedua tugas tersebut.
Dengan ilmu, manusia memiliki kelebihan dari malaikat. Terlebih jika manusia dapat beribadah didasari oleh ilmu yang benar. Dengan ibadah seperti ini, manusia bahkan akan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari malaikat.

Ilmu, baik kasbi (acquired knowledge) maupun ladunni (abadi atau perennial), tak dapat dicapai tanpa didahului dengan qirâ`ah (membaca, atau dalam arti luas menelaah, mengkaji dan lain sebagainya). Terlebih untuk mengenal alam raya, yang jelas tak dapat dicapai kecuali dengan qirâ`ah . Dari sana barulah kita dapat mengenali tujuan penciptaan kita.

Begitulah Kebijaksanaan Allah yang telah menjadikan iqra` sebagai syarat utama keberhasilan manusia. Tak mengherankan jika himbauan tersebut Allah jadikan tuntutan utama kepada manusia, dengan diturunkan sebagai wahyu pertama. Wallâhu must’ân ila ‘ulûmihi, wahuwa a’lamu bish-shawâb .n


*Redaktur Majalah Gontor , Dosen Universitas Islam Az-Zahra, alumni Aligarh Muslim University

Tidak ada komentar: