Intoleransi di Sekolah Arab Saudi


Di wanita-muslimah@yahoogroups.com, pernah terjadi debat soal intoleransi beragama yang sengaja diajarkan di sekolah-sekolah di Arab Saudi, berdasarkan sebuah laporan Anne Applebaum berjudul “A Textbook Case of Intolerance: Changing the world one schoolbook at a time” yang dirilis di http://www.slate.com/id/2195684/.

Seorang anggota milist itu memposting ke milist tempat saya diskusi, dan memberi komentar: “Menurut pendapat saya, Arab Saudi itu merupakan negara yang membodohi masyarakatnya sendiri agar bisa didaya-gunakan untuk mengekalkan Dinasti Saud. Segala macam upaya pembodohan dilakukan disana, termasuk dengan pembungkusan anggota2 tubuh wanita, termasuk dengan menempatkan wanita sebagai makhluk yang harus dikontrol dengan ketat eksistensinya, termasuk dengan pemutar-balikan sejarah segala macam.”

Tersontak hati saya untuk mengomentari: Ada banyak hal yang kurang berkenan dalam nalar saya membaca tulisan "Sekolah di Arab Saudi Mengajarkan Intoleransi" dan tanggapan kawan2 seputar adanya tuduhan intoleransi di Arab Saudi. Mudah aja pertanyaan baliknya: "Apa kalian sudah pernah bermukim, atau bahkan sekolah di Saudi hingga bisa mudah mengiyakan keseluruhan tulisan Anne Applebaum itu? Lalu, siapa Anne Applebaum, dan apa pengalaman dia bisa mumpuni menganalisis "bangsa yang asing" untuk dirinya?

Karena dari tanggapan2 yang ada, gak satu pun yang mengungkap pengalaman realnya beradaptasi dengan "budaya" Saudi. Bayangkan coba, ada orang mengkritisi tentang Indonesia di depan Anda, apa yang akan Anda lakukan karena Anda lebih banyak tahu tentang negeri Anda?

Walau memang patut diakui ada banyak kekurangan yang dimiliki negara petro dollar itu, tapi untuk menuduhkan keseluruhan negara itu "intoleran" hanya dengan pijakan sebuah text book sangat kurang ilmiah. Terlebih, tulisan itu hanya sebuah karya opini jurnalistik dan bukan karya ilmiah.

Tahukah Anda, bahwa dalam Islam, pelajaran Tauhid adalah bassic ilmu sebelum seorang muslim dapat benar-benar mengamalkan ajaran agamanya? Kalau Anda beragama Islam, tolong iyakan, karena itulah faktanya. Kalau Anda non Muslim, simak saja banyak uraian di internet tentang ilmu Tauhid itu. Dan kalau Anda tidak beragama, jangan kritisi sesuatu yang tidak Anda percayai, karena akan menjadi tidak kompatibel,
apalagi ilmiah.

Sangat simple untuk meretas kekeliruan nalar penulis yang mengatakan text book itu memicu intoleransi. Alasan penulis, jika siswa mau dapat nilai bagus, maka ia harus memilih poin C: Orang yang menyembah Allah semata, mencintai orang-orang yang beriman dan membenci orang-orang kafir.

Dalam ilmu Sosiologi tingkat dasar yang pernah kita pelajari di SMP-SMA dulu disebutkan beberapa alasan manusia menjadi homo socius dan cenderung harus hidup berkelompok. Salah satu alasannya adalah "keselamatan dan kenyamanan". Logis sekali jika poin C adalah pilihan terbaik dibanding 2 poin sebelumnya (A & B). Karena, rekat ikatan keimanan bagi seorang manusia yang memiliki "keyakinan" sangat begitu kuat. Ikatan orang yang beriman (kepada Allah dan semata hanya menyembah-Nya), logisnya akan lebih kuat berafiliasi kepada orang yang seiman dengannya (sesama mukmin). Lebih berafiliasi kepada kelompok lain sangat aneh, karena hidup dalam kelompok jelas lebih menjamin keselamatan dan kenyamanan dibanding dengan hidup di ranah yang asing.

Mudahnya, Anda yang tidak beragama, tentu lebih asyik hidup dalam lingkungan yang tidak beragama. Karena jika hidup di lingkungan beragama, hidup Anda pasti akan "gerah" dengan suara adzan dari masjid, atau lonceng dari gereja.

Mengenai warna Islam yang ada di Arab Saudi, dapat kita analisis dari aspek antropologi agama. Andai Anda pernah mempelajarinya, tentu Anda akan sangat dimaklumi jika suatu daerah memiliki warisan keberagamaan yang unik dari daerah lain. Saudi Arabia, dengan kultur dan tekstur antropologis, dan dipengaruhi oleh iklim dan sentuhan perjalanan peradaban, sangat "in" dengan model Islam yang ada saat ini. Apakah
itu dalam kacamata kita dianggap "keras" atau lainnya. Namun, relevansi itu relatif berlaku untuk wilayah itu saja, dan belum tentu untuk wilayah lain. Terlebih bagi wilayah yang memiliki khazanah kultural atau sejarah peradaban berbeda.

So, menganalisis fenomena Islam di Arab Saudi sangat tidak relevan jika mengalisisnya menggunakan pisau analisis Barat, atau Timur yang menjurus keindonesiaan. Karena akan mandeg, bahkan yang akan terhasil hanya "clash of civilization".

Untuk menepis pendapat hanya ada satu agama "resmi" di Saudi, sangat mudah. Gunakan saja komparasi pertanyaan analogis semisal: "Di Vatikan, boleh ngak ada agama lain?" Dalam aspek kekuasaan, saya setuju jika dikatakan ada kecenderungan pemerintah Saudi "mengulur waktu" mencerdaskan anak bangsanya karena takut dilengserkan. Tapi, bayangkan jika Arab Saudi tidak menggunakan pola kekuasaan seperti itu? Pola pikir dan kecenderungan hidup masyarakat Saudi, karena faktor cuaca dan lingkungan, memang dalam sejarahnya begitu. Pola dinasti keluarga, kecenderungan ta'assub kekeluargaan mereka sangat kental. Pun, rakyat Saudi tidak bisa pungkir bahwa kenyamanan hidup mereka saat ini adalah berkat revousi Raja Saud dulu yang mendobrak cengkraman Turki Utsmani.

Pola pembatasan gerak perempuan di negeri ini juga merupakan kultur mereka. Karena wanita adalah segalanya buat mereka, bahkan perhiasan yang mahal. Maka harus dijaga, dan tidak bisa sembarang keluar rumah tanpa dampingan orang dekat atau kerabat. Hijab, burqah atau niqab yang mereka pakai juga tradisi yang sangat relevan dengan kultur dan
cuaca lokal. Dan kecocokan ini sudah berjalan berabad-abad tanpa intervensi. Semua sudah membudaya. Maka bijaknya, jangan bandingkan pola ini dengan model hidup, busana, atau pergaulan ala Indonesia, atau bahkan Barat, yang jelas sangat kontras. Laptopnya beda," kata Tukul Arwana.

Any way, menurut saya, tulisan "Sekolah di Arab Saudi Mengajarkan Intoleransi" sangat labil. Karena garis besar tulisannya mengarah pada penyeragaman yang keliru, bermula dari penggunaan pisau analisa yang keliru.


25 Juli 2008


Tidak ada komentar: