Westernisasi Ramadhan

Oleh: Ahmad Taufiq Abdurrahman

Dari subuh hingga kembali subuh di bulan Ramadhan, para pencinta televisi kini dapat full menikmati aneka sajian program acara islami yang terkemas apik berbalut komersial yang canggih.

Khalayk seperti terbutakan oleh kilauan para selebriti yang berlomba menghias diri dengan balutan muslimah, lenggak-lenggok yang diupayakan sopan ketimuran tetapi tetap menggairahkan.

Begitulah nuansa Ramadhan di era keterbukaan ini di Indonesia. Dan suasana ini tak bedanya dengan suasana Natal dan hari-hari Raya umat lainnya di negara-negara berpenduduk mayoritas sebuah agama.

Seorang teman senior yang dulu pernah bermukim lama di Amerika berangan, “Kapan yach kita di Indonesia akan mengalami kemeriahan layaknya Natal yang begitu meriah di AS atau negara-negara eropa?” Angannya itu kini telah menjelma penuh di langit hingga kamar-kamar rumah di Indonesia.

Ironinya, kemeriahan yang ada seperti melupakan esensi Ramadhan yang memiliki Lailatul Qadr yang oleh sebagian ulama tafsir diinterpretasikan sebagai malam yang penuh keheningan hingga membawa rahmat. Rahmat yang turun kepada orang yang tengah beribadah, tafakkur dan bermunajat kepada Allah.

Malam Ramadhan di Indonesia kini layaknya siang di ibukota atau pasar malam yang hingar bingar oleh celotehan, kelekar dan gelak tawa para presenter maupun pengisi acara. Alih-alih ingin membangunkan atau membangkitkan semangat sahur orang, para pemirsanya justru terbuai dan lupa untuk bertahajjud dan bermunajat hingga datangnya masa imsak.

Westernisasi atau dalam terminologi jauh berarti kebarat-baratan telah membuat Ramadhan di Indonesia lepas dari akarnya. Pola perayaan hari istimewa di Barat yang cenderung glamor, di ATM (amati tiru dan modifikasi) di Indonesia dalam bentuk keberingasan dan keberisikan yang andai dianalogikan layaknya pasar malam.

Padahal Ramadhan bukanlah sebuah celebration (perayaan), yang dalam termininologinya berarti mark or honour with festivities atau tanda atau ciri penghormatan terhadap sesuatu melalui pesta. Tetapi Ramadhan adalah petunjuk (hudan) dan pencerahan (furqan) (Qs. Al-Baqarah [2]: 185) yang dimanifestasikan melalui perbanyaknya ibadah, tadabbur, tafakkur dan munajat kepada Allah, dan bukan dengan pesta.

Rasulullah bersabda: Barang siapa berpuasa denganpenuh keimanan dan mengharap ridha Allah, maka dosanya yang telah lalu akan terampuni.

Dalam ajaran Islam, hanya Ied (hari raya pengembalian) –khususnya Ied Qurban-lah yang penghomatannya layak dilakukan dengan celebration. Karena di hari itu Allah memang telah menggariskan kebebasan manusia dari belenggu perbudakan iblis lewat pengorbanan Ibrahim yang rela menyembelih anaknya setelah dihantui bujukan iblis untuk menolak perintah Allah untuk mengorbankan anaknya.

Di negara-negara timur tengah, Ramadhan adalah bulan yang benar-benar prestisius. Kemilau lampu khas ramadhan (venus) dan berbagai lampu penerang yang bertabur di sepanjang jalan tidak menghilangkan nuasa ubudiyah kesyahduan Ramadhan. Siang harinya suara-suara orang yang melantutnkan ayat-ayat suci al-Qur`an seperti tak hendi terdengar dari berbagai pojok jalan.

Adopsi celebration ala Barat mungkin hanya mereka resap lewat pemanfaat cahaya, layaknya kaum kristiani yang suka menghiasi pohon-pohon Natal dengan aneka lampu. Tetapi ruh Ramadhan yang penuh dengan nuansa ibadah tidak ditinggalkan, masjid selalu penuh dan hidup hingga pagi, acara televisi pun tidak glamor mempertontonkan para selebriti musiman yang kian laris kontraknya karena kerja lembur.

Ramadhan memang bulan yang penuh berkah, bagi siapapun. Termasuk berkah pahala dan materi. Tetapi materialisasi Ramadhan sungguh dapat mencoreng esensi bulan yang penuh kesucian ini oleh ketidak mampuan kita untuk menyaring kelayakan sebuah adaptasi budaya, dan ATM-nya, hingga kita pun terjebak dalam penjiplakan total pola budaya, dan hanya memilah bedanya dengan penampilan kostum yang sisipan-sisipan kata yang islami.

Tak aneh jika melihat fenomena ini ada beberapa ulama hingga mengharamkan jamaahnya untuk menonton televisi selama bulan Ramadhan.

Tidak ada komentar: