Seorang kawan milist memposting berita dari http://12degreesoffreedom.blogspot.com/2007/10/lesson-in-muslim-environmental-et\hics.html, dengan judul: “African fishermen find way of conservation in the Koran”. Isinya tentang suksesnya para ulama di Zanzibar untuk mendakwahi masyarakatnya tentang pelestarian lingkungan –khususnya ekosistem laut- dengan pendekatan dakwah qur`ani.
Mungkin banyak orang yang kurang care dengan urusan pelestarian lingkungan, seperti yang disebutkan dalam artikel tersebut. Padahal, alam sudah sangat luar biasa berjasa membuat kita, orangtua dan keturunan kita bisa hidup. Juga, Indonesia yang 2/3 wilayahnya berupa air amat sangat bertanggungjawab untuk melakukan hal seperti yang dilakukan di Zanzibar seperti dalam artikel itu.
Sayangnya, cuma hanya segelintir orang yang peduli dengan urusan ini. Karenanya, harus dilakukan penumbuhan kepedulian ini melalui aneka pendekatan komprehensif dan sistemtis. Bukan sekedar umbar teori-teori empirik keilmiahan tentang perlindungan alam yang sulit dipahami masyarakat awam yang blum melek ilmiah.
Nah, dalam kondisi ini, agama sangat efektif untuk menjadi penengahnya –bukan "digunakan" untuk justifikasi tingkah masyarakat saja-. Dus, tokoh-tokoh agama sangat berhutang untuk "memasarkan" pesan Tuhan agar alam-Nya dijaga seluruh umat manusia yang beragama apapun.
Sayangnya pendekatan ini kurang digunakan secara efektif oleh lembaga berwenang urusan "alam" di Indonesia. Padahal, potensi para tokoh agama sangat signifikan mengingat agama begitu mengakar dalam masyarakat Indonesia, bahkan menjadi identitas yang harus dicantumkan di KTP :)
Beberapa bulan lalu, saya menugaskan reporter saya tuk meliput event "Gontor Goes Green" di Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Dalam acara itu Gontor –sebagai "mbah-nya" pesantren modern menyertakan ratusan pondok pesantren cabang dan alumni yang memiliki jutaan umat, untuk sadar menghijaukan pinggiran sungai yang kini banyak tererosi.
Bagi saya, ide-ide seperti ini sangat luar biasa dan cerdas, karena potensi-potensi keagamaan yang menjadi "kekahsan" bangsa Indonesia bisa termanfaatkan positif. Tentunya untuk tujuan memakmurkan dan menyadarkan universalitas kehidupan.
***
Namun salah seorang milister menanggapi tulisan saya itu dengan menulis: “Aneh. Pelestarian alam kok menunggu Kitab Suci? Saya hidup puluhan tahun disebuah negara, yang sangat lestari dan menyatu dengan alam, yang sangat sadar pemeliharan alam. Sebuah negara yang kaya air, dan menggunakan air untuk pembangkitan tenaga, bukan fossil apalagi nuclear. Austria. Negara ini tak sendiri sebagai jawara pelestarian alam, juga Swiss, Norway, atau, terutama New Zeeland. Mereka ini negara negara yang tak mengenal Quran. Bukan membaca Kitab, tetapi melaksanakan perilaku yang baik, ramah alam, ramah lingkungan. Ini katakuncinya.”****
Dengan sabar saya menjawabnya: Itulah lemahnya aplikasi keimanan orang-orang beragama terhadap kitab sucinya. Padahal semua kitab suci, rasanya sangat memuja kelestarian alam sebagai inti nafas seluruh makhluk. Tapi Kitab Suci tak perlu disalahkan. Justru Kitab Suci menjadi pelengkap kehidupan manusia andai bisa diaplikasi secara tepat guna. Kitab Suci hanyalah instrumen, sedangkan pelaku dan pengejawantahnya adalah yang mengimaninya.Di beberapa negara maju, seperti tempat mas Danardono bermukim (atau pernah bermukim), kesadaran pelesatarian alam dan pemberadaban etika sosial kemasyarakatan memang tidak terdepankan kuat dipengaruhi Kitab Suci yang diimani "beberapa kalangan" masyarakatnya. Tetapi undang-undang dan peraturan-peraturan konvensional yang mengaturnya.
Bayangkan, jika sebuah aturan konvensional saja bisa mampu mengatur rapih pola hidup masyarakat di sana, bagaimana jika masyarakat Indonesia –yang punya undang-undang konvensional dan Kitab-kitab Suci Agama- mampu menyinergikan kedua unsur "pengatur" hidup ini? Sungguh niscaya kita akan bisa lebih rapih, maju dan indah dibandingkan beberapa masyarakat Eropa.
Bijaknya, bukan mengeleminasi peran Kitab Suci –dan agama yang memang sudah menjadi nadi dan urat kehidupan bangsa Indonesia-. Tetapi mengoptimalkan peran-peran para penanggungjawab misi keagamaan, bukan hanya untuk sibuk dengan urusan keimanan, manajemen konflik dan syiar-syiar doktrin agamanya saja yang ekslusif. Tapi membuatnya menjadi inklusif, dalam arti bisa membumi dan berpadu dengan dunia tempat kita tinggal, dalam berbagai aspeknya, termasuk alam.
Sulit rasanya untuk mengasingkan Kitab Suci dari ranah kehidupan polekososbud bangsa Indonesia. Dan inilah mungkin PR besar kalangan anti-agama untuk lebih kreatif mengolah strategi agar kecenderungan bangsa Indonesia kepada Kitab Suci hilang :) Namun, jelas berat dan butuh "revolusi" kemanusiaan Indonesia. Pemajuan masyarakat tidak semudah membalikkan tangan. Dari masyarakat yang memang mengakar agamis, sangat rumit menjadikannya "tidak agamis". Membuat mereka sekuler saja butuh berabad-abad :)
Kalo gitu, jangan lagi salahkan Kitab Suci dan agama, tapi upayakan memberdayakan yang kini "tengah dan masih ada" serta memaksimalkannya.
Kalo kata beberapa kawan yang Marxist "religion is opion of people", untuk konteks keindonesiaan mungkin harus dibumikan menjadi "religion is supplement for people" :)) Tapi, penganut agama harus lebih aktif dan kreatif menginklusifkan diri dengan alam lingkungan. Bukan malah mengekslusifkan diri, dan cenderung hanya suka menuding,
menyalah-nyalahi bahkan mencaci ide maupun keyakinan yang berseberangan.
Yach …. Begitulah negeriku, yang harus aku bangun dengan sumber daya yang ada. Bukan bim-sala-bim memusnahkan yang ada.
27 Agustus 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar