Kawin Campur 1
Hi semua ... topik KAWIN CAMPUR sedang hangat di Indonesia sejak Dr Zainun Kamal mengangkatnya. Kayaknya kita butuh diskusikan masalah ini dengan displin, sudut pandangn dan analisis masing-masing.
Menurut analisis sementara saya, fenomena “kesalahan” maraknya kalangan selebriti dan masyarakat umum untuk “pindah lokasi nikah” dari Indonesia yang berhukum anti pernikahan campur ke Singapura yang liberal, bukanlah kesalahan prosedural atau birokrasi saja. Tapi akar kesalahannya ada pada "pengetahuan" (baik pragmatis keagamaan maupun prosedural hukum), di samping wawasan pendidikan masyarakat yang masih "mentah"; Juga wawasan akan pemahaman transformasi pola hidup liberal. Maksudnya pola hidup yang "langka" atau masih "tabu" untuk komoditas kehidupan dan pola pikir sosial masyarakat Indonesia yang cenderung bertipe tradisional.
Faktor lain yang mungkin menyebabkan kesalahan implementasi legitimasi hukum terhadap para pelaku kasus ini (khususnya oleh KCS) adalah karena faktor "prematur"nya hukum (undang-2) perkawinan Islam Indonesia yang terkesan sangat "dipaksakan" penggolannya (khususnya oleh partai-2 Islam). Sedangkan kondisi alam dan realitas masyarakat -hingga saat ini- masih belum mencampai tahap "mengerti" akan kaidah hukum perkawinan Islam itu sendiri secara sempurna. Mungkin karena "kekurang tertarikan” untuk mempelajarinya, atau juga karena "kurang promosi" pemerintah dan ulama. Hingga pada tahap selanjutnya, konsep, dasar dan standar perkawinan yang digariskan UU tersebut pun menjadi absurd dan tidak membumi. Wal hasil, kebodohan dan pembodohan bangsa akan masih terus berlanjut!
*****
Dalam hal alasan tasyri’ (pensyariatan atau latarbelakang pensyariatan suatu hukum dalam Islam), harus diperhatikan adanya kepentingan dua hak, yakni hak Tuhan atau “huququllâh” dan peranan hak manusia (huququl ‘abd). Khusus “hukum langit” atau “huququllâh” sangat jelas sudah menjadi hak Tuhan, yang tidak lagi dapat diubah atau diperbaharui. Seperti justifikasi hudud dan qishas yang absolut (qathi’). Dan dalam menggariskan hukum-hukum-Nya, Allah melakukannya bukan dengan latar belakang konsepsi fiksi (konsep kabur), tetapi motif humanitasnya (sosial, budaya dan kemasyarakatan) juga dikedepankan.
“Pensyariatan budaya” ini dimaksudkan agar agama Allah dapat diterima sebagai sebuah kenyataan yang membumi (manusiawi) dan tidak mengawang. Contoh mudahnya kasus burqah (hijab atau jilbab), yang secara alami merupakan “budaya Arab” yang kemudian secara keTuhanan (ilahiyyat) diadopsi menjadi syariat umum. Karena –menurut kebijakan Tuhan-, syariat ini akan mampu fleksibel dan relevan bagi berbagai budaya umum manusia muslim, terlepas dari kontroversi penolakan yang belakangan muncul.
Hubungan gambaran di atas dengan hukum dan batasan kawin campur yang kita diskusikan, rasanya sangat layak dilihat dalam visi kemanusiaan (bukan visi keTuhanan). Dalam arti bahwa “peng-aminan” kita terhadap sebuah hukum, haruslah dilandasi oleh pengetahuan kita akan dasar manusiawi hukum tersebut. Karena hukum nikah berkategori kolaborasi hukum Tuhan yang menyangkut dengan hukum kemanusiaan. Konteks ini nyata dalam peran manusia (huququl ‘abd) yang terposisikan dalam peran qâdhi (ulama) yang dipercaya untuk menjustifikasi kasus-kasus pernikahan. Dalam istilah hukum pidana Islam, konsepsi ini dikenal dengan istilah Ta’zîr.
Batasan kemanusiaan yang kemudian disahkan secara keTuhanan ini, juga dapat kita tilik urgensinya lewat konteks hubungan interaktif antarmanusia. Khususnya dalam dinamika sosial budaya manusia yang cenderung rela membedakan kedudukan seseorang dari sistem perkawinan, pertalian darah dan keturunan. Seperti sistem matrilineal (hubungan keibuan) yang banyak dianut budaya India maupun Minangkabau, dan patrilineal (hubungan kebapakan) yang marak di budaya Arab.
Kekhawatiran dasar dari pelarangan (ban) terhadap perkawinan campur, khususnya wanita muslimah dengan pria non muslim, adalah karena kekhawatiran akan hilang atau berpindahnya nasab (keturunan) anak kepada keturunan sang bapak (non-muslim) jika perkawinan ini terjadi. Walau dalam al-Qur`an sangat jelas ditegaskan “prerogatif” orangtua untuk menjadikan anaknya sebagai Muslim, Nasrani, Yahudi atau Majusi. Namun karena faktor dasar fitrah anak itulah Allah menjadi “khawatir” terjadinya kontaminasi ideologi sang anak dengan ideologi (non-Islam) bapaknya.
Dan larangan (pembatasan) kawin campur ini bukan hanya berlaku untuk perkawinan wanita muslimah dengan pria non muslim, tapi juga bagi pria muslim yang akan mengawini wanita non-alhul kitab, khususnya musyrik (politheis- dan ulama modern menambahkan, atheis). Namun larangan ini akan menjadi kebolehan (suqutul hukm) apabila sosk-sosok terlarang itu (pria non muslim dan wanita musyrik) telah mengucap syahadat dan beriman kepada Allah (menerima monotheisme).
Hanya saja, pada sisi ini masih harus kembali kita analisis modus tasryi’ yang ada. Andai ‘tesa’ kita adalah faktor kekhawatiran kontaminasi keturunan, maka pelarangan kawin campur pria muslim-wanita musyrik akan membatalkan antitesanya. Karena hujjah konsekuensi kontaminasi keturunan akan jatuh, mengingat alasan patrilinealisme di atas.
Tapi secara logika dapat dianalisa dengan jalan lain. Yaitu, bahwa batasan nisbi hukum kawin campur ini telah berotasi pada ajaran agama-agama langit saja (samawi-millah ibrahimiyah-ajaran Ibrahim). Dan batasan qathi’ (absolut) pelarangan ini diperuntukkan bagi hubungan cross (silang) dengan kaum musyrik –yang menurut sentimen agama samawi, mereka (kaum musyrik) telah keluar dari modus dasar beragama, yaitu ide ketuhanan (theism). Maka, kontaminasi keturunan bukan hanya terbatas pada kontaminasi ideologi karena perbedaan Nabi (Islam: Muhammad, Yahudi: Musa, Nasrani: Isa), tapi lebih kepada kontaminasi theisme.
****
Kemudian, dalam kaitan polemik larangan kawin campur ini dengan konsepsi HAM konvensional, rasanya wajar. Karena –untuk sementara ini-, konsepsi qonun atau hukum konvensional baik nasional maupun internasional, masih “dikuasai” oleh unsure superioritas pemenang Perang Dunia II (Barat). Dengan standar kekinian agaknya masih wajar -untuk sementara ini- menempatkan Islam (beserta negara-negara Islam) dan syariahnya dalam posisi “tabiin” (pengikut).
Namun yang harus lebih ditilik bukanlah persoalan superioritas antara Syari’ah dan Qonun. Karena rasanya sudah “basi” untuk terus mengangkat ungkapan umum “apabila terjadi benturan antara agama dan dunia, maka utamakanlah agamamu”. Saya sangat ingat dengan ungkapan Syeikh Mahmud Muhammad Thaha (seorang ulama reformis Sudan yang divonis mati digantung karena idenya “memoderatkan” Syariah): “As long as Muslim continue to adhere to the framework of historical Sharia, they will never achieve the necessary degree of reform which make Islamic public law workable today.”
Inilah yang menjadi misi positif dari pergulatan para ulama –moderat ataupun tradisional-, untuk menghasilkan konsepsi Syariat yang apresiatif terhadap Qonun. Agar kita tidak bersikap melulu arogan untuk menerapkan Syariat Islam tanpa peduli dengan perkembangan dunia sekitar. Juga agar kita sadar, bahwa kita tidak hidup sendiri, tapi kita bermasyarakat (dengan non-muslim), dan kita dituntut bersikap open minded terhadap ide, budaya dan propaganda baru (asing).
Selanjutnya tinggal bagaimana ilmu, wawasan dan keimanan kita menyikapi toleransi ini. Kesalahan dan penyalahgunaan toleransi akan terjadi karena “kesalahan membaca atau belajar” (misstudy), atau juga “kesalahan sistem belajar” (misconcept), yang kemudian menghasilkan “kesalahan pemahanan” (misunderstand), dan berlanjut kepada “kesalahan sikap” (misattitude). Menurut Abul a’la Maududi, asal semua kesalahan-kesalahan ini adalah kebodohan (ignorance).
Selamat merenungi :)
Pipix Taufiq Abdurrahman
22 Oktober 2002
Faculty of Theology
Aligarh Muslim University (AMU) - India
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar