Oleh: Ahmad Taufiq Abdurrahman
Sebaiknya
Ahmad Bakri (bukan nama sebenarnya) boleh jadi tahun depan tak bisa lagi naik haji seperti tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, Pemerintah Arab Saudi mulai musim haji tahun 2009 akan mengenakan larangan merokok kepada seluruh jamaah haji. Padahal, selama beberapa tahun ini Bakri yang biasa dipanggil "Ahli Hisap" memeroleh sebagian Ongkos Naik Haji dari berjualan ratusan bungkus rokok di Tanah Suci yang dibawanya secara diam-diam alias diselundupkan ke sana.
Pemerintah Saudi memerkirakan jamaah haji yang perokok berjumlah 700 ribu orang. Merekalah yang menjadi sasaran pemasaran rokok secara sembunyi-sembunyi oleh orang semacam Bakri. Tak terdata berapa batang rokok yang dikonsumsi oleh mereka. Yang pasti, mulai musim haji tahun 2008 Pemerintah Saudi mengampanyekan antirokok melalui slogan, "Jadikan Hari Arafah Sebagai Hari Meninggalkan Rokok." Jamaah diminta berjanji meninggalkan rokok dan tembakau pada hari Arafah.
Demi perang terhadap rokok, Saudi tak tanggung-tanggung mencetak sekitar 1,5 juta brosur imbauan berhenti merokok dalam 14 bahasa, termasuk bahasa
Larangan merokok, seperti diinformasikan oleh Departemen Luar Negeri Arab Saudi, akan disertakan dalam visa haji pada musim haji mendatang. Draf Undang-Undang mengenai Anti-Tembakau juga telah disampaikan ke lembaga tinggi Saudi untuk disetujui. Nantinya selain di Kota Mekkah dan Madinah, area bebas rokok juga akan diterapkan di area lima kilometer dari dua kota suci itu. Di area itu, penjualan rokok dan tembakau akan dilarang.
Tampaknya Pemerintah Saudi begitu serius menggalang segenap upaya untuk menyetop konsumsi rokok. Padahal, telah lama mufti Saudi Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengeluarkan fatwa pengharaman rokok berikut bisnis turunannya. Dalam Kitab al-Da'wah, ahli fatwa terpandang ini memastikan bahwa hukum merokok, menjual ataupun berbisnis rokok sama hukumnya seperti hukum khamr (arak), yakni haram.
Alasan Syaikh bin Baaz, rokok diharamkan karena ia termasuk barang khabaits (buruk) dan mengandung banyak sekali mudharat. Padahal, Allah SWT hanya membolehkan bagi hamba-Nya makanan dan minuman yang baik-baik saja (Qur’an surah al-Maidah ayat 4) serta mengharamkan bagi mereka semua yang buruk (al-A'raf ayat 157). "Wajib bagi perokok dan orang yang memerdagangkannya untuk segera bertobat," tegasnya.
Boleh jadi, keseriusan Pemerintah Saudi memerangi rokok segera menjadi kiblat antirokok bagi kaum Muslimin Indonesia. Harapan ini kian menguat setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) memastikan akan mengeluarkan fatwa status hukum rokok pada Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa yang rencananya berlangsung Januari ini. Ketua MUI KH Ma'ruf Amin menjelaskan, Forum ini akan menentukan hukum rokok, apakah haram, makruh, mubah, mukhtalaf (diperselisihkan), ataukah hukumnya tawaqquf (status quo).
MUI pun melangkah cukup hati-hati. Ia pertama-tama menggelar seminar bertema "Fatwa MUI versus Wacana Antirokok" yang terselenggara di Jakarta (24/11/2008), dengan melibatkan produsen dan asosiasi pabrik. Pro-kontra pun mencuat. Bisa diduga, kalangan pengusaha menolak fatwa haram rokok. Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Ismanu Soemizan mewanti-wanti fatwa MUI bisa mengusik. Alasannya, jika rokok diharamkan, 6,2 juta pekerja rokok bisa terancam menganggur.
Suara sama datang dari Suwarno M Serad. Menurut wakil dari PT Djarum Indonesia ini, pengharaman rokok akan merugikan negara. Selama ini, tuturnya, negara mendapatkan pemasukan dari pajak dan cukai rokok sebesar Rp 57 triliun, atau hampir 2,4 persen dari Produk Domestik Bruto Indonesia. Lagi pula, industri rokok tergolong mapan, jarang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) serta sangat membumi karena 90 persen bahan bakunya dari produk lokal perkebunan rakyat.
Debat soal hukum (me)rokok sesungguhnya isu lama, tapi kini kembali menyeruak. Berawal dari keluhan Kak Seto Mulyadi yang datang ke kantor MUI pertengahan Agustus lalu, agenda pembahasan soal fatwa haram merokok akhirnya bergulir, apalagi diamini Menteri Agama. Sebagai ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), wajar Kak Seto geram dan khawatir terhadap fenomena meningkatnya jumlah anak Indonesia yang memiliki kebiasaan merokok belakangan ini.
Betapa tidak, menurut catatan KPAI, selama lima tahun terakhir, jumlah anak Indonesia yang merokok pada usia empat hingga sembilan tahun meningkat sembilan kali lipat, yakni dari 0,4 persen pada 2003 menjadi 3,6 persen pada 2008. Jika jumlah anak pada rentang usia tersebut saat ini 20 juta jiwa, sedikitnya ada 720 ribu anak Indonesia berusia di bawah 10 tahun yang merokok. Jutaan batang rokok membara sia-sia di bibir-bibir ranum kawula muda ini.
Pihak MUI berhasil diyakinkan untuk segera bertindak. Semula, pembahasan serius tentang fatwa merokok itu akan dilaksanakan MUI selepas Ramadhan. Tapi ijtima ulama ditunda ke bulan Januari gara-gara banyaknya penolakan terhadap rencana fatwa haram rokok oleh MUI. Penolakan datang dari pengusaha, karyawan pabrik, serta petani tembakau. Beberapa tokoh dan ulama pun menyarankan agar MUI ekstracermat dalam memfatwakan hukum rokok tersebut.
Meski Menteri Agama menyetujui langkah MUI, namun Pemerintah tampaknya tetap hendak memertahankan industri rokok. Bahkan pada 2009, negara terbetik kabar berencana menaikkan tarif cukai rokok 6-7% dengan tujuan meningkatkan penerimaan negara hingga sebesar Rp 49,6 triliun, sekaligus konon untuk menurunkan konsumsi rokok. Biasanya kenaikan tarif cukai rokok diikuti dengan kenaikan harga rokok. Tetapi secara pasti ini pun akan diiringi lagi dengan peningkatan biaya iklan oleh pabrik rokok. Satu alasannya: bisnis, untuk memertahankan laju konsumsi rokok.
Begitulah, logika pemerintah dan pengusaha seakan berseberangan, meski pada kenyataannya rakyatlah yang menjadi korban. Selama ini, penaikan tarif cukai rokok, yang diikuti naiknya harga rokok, belum pernah bisa menurunkan konsumsi rokok. Bahkan, maraknya iklan, promosi dan sponsor rokok yang begitu canggih di berbagai kegiatan remaja, yang diselenggarakan pengusaha rokok, secara langsung menentang upaya penurunan konsumsi rokok.
Tak aneh bila Indonesia menempati peringkat pertama "negara perokok" di kawasan ASEAN. Tepatnya, sebagaimana terungkap dalam ASEAN Regional Media Workshop on Tobacco Control yang diselenggarakan South East Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), jumlah perokok di Indonesia mencapai 46,16 persen dari total jumlah perokok di ASEAN pada 2007. Karena lemahnya sistem pengendalian rokok, Indonesia gagal mengerem jumlah perokok.
Padahal, cara meredam jumlah perokok sudah dirumuskan dalam Sidang Majelis Kesehatan Dunia (WHA) ke-56 Mei 2003. Sebanyak 192 negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan suara bulat mengadopsi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control, FCTC), perjanjian kesehatan masyarakat yang pertama. Tujuannya, melindungi generasi sekarang dari kerusakan kesehatan, sosial, lingkungan dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi tembakau, bahan baku inti rokok.
Sayangnya, Indonesia yang turut dalam seluruh proses pembahasan draf perjanjian tersebut, hingga kini masih "enggan" meratifikasi perjanjian internasional tersebut. Padahal, FCTC mengikat secara hukum dalam strategi global kesehatan masyarakat dengan mendukung negara-negara anggota mengembangkan program pengendalian tembakau nasional untuk mencegah penyakit kematian akibat tembakau.
Banyak alasan mengapa pemerintah masih enggan meratifikasi perjanjian ini. FCTC mengharuskan pengendalian harga pajak tembakau yang terkait dengan kesehatan masyarakat, serta masalah iklan, sponsor dan promosi rokok yang bombastis kepada masyarakat. Secara tegas FCTC mensyaratkan anggota untuk melaksanakan larangan total terhadap iklan, pemberian sponsor, dan promosi produk-produk tembakau.
Tapi di Indonesia pabrik rokok bebas beriklan sepuas-puasnya. Sejak pencabutan larangan iklan TV pada 1991, nyaris tak ada sama sekali pembatasan iklan tembakau di Indonesia. Dalam PP 18/2003, penayangan iklan tembakau di TV hanya dilarang mulai pukul 5 pagi hingga pukul 9.30 malam. Sekalipun dalam bidang promosi, pembagian contoh produk secara cuma-cuma telah dilarang dalam PP tersebut, namun pembagian kupon diskon dan penjualan rokok batangan masih terjadi di Indonesia.
Tarif cukai rokok di Indonesia pun terbilang rendah dibanding beberapa negara ASEAN lainnya. Menurut Abdillah Ahsan, peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, pada 2008 Indonesia berada di peringkat kelima rata-rata tarif cukai rokok di ASEAN, dengan tarif cukai rokok sebesar 37 persen. Sementara Thailand 63 persen, Malaysia 49-57 persen, Filipina 46-49 persen, Vietnam 45 persen, dan Kamboja 20 persen.
Padahal, kenaikan pajak tembakau akan memberi manfaat pada kesehatan dan ekonomi masyarakat. Dalam aspek manfaat kesehatan, kenaikan harga tembakau akan mengurangi konsumsi, terutama di kalangan anak, remaja, dan perokok ringan. Guna memeroleh dampak pada kesehatan masyarakat, harga jual harus cukup tinggi melalui kenaikan pajak berkala. Dan FCTC mengharuskan agar kesehatan masyarakat dipertimbangkan saat menetapkan kebijakan pajak dan harga produk tembakau.
Tarif cukai rokok akan memengaruhi harga rokok dan tingkat konsumsi masyarakat. Berdasarkan data Tobacco Atlas tahun 2006, harga rokok di Indonesia terbilang murah. Di Indonesia, rokok merek Marlboro dibandrol sekitar 0,9 dolar. Sementara di Malaysia lebih mahal, yakni 2,18 dolar, Laos 1,25 dolar, dan Singapura 7,5 dolar. Harga rokok di Indonesia sama dengan di Vietnam, dan lebih tinggi dari Filipina.
Di luar alasan itu semua, yang paling krusial, seperti diutarakan Tulus Abadi, ketua Advokasi Komnas Penanggulangan Tembakau, adalah "penghambaan" Indonesia kepada industri rokok. Tak cuma penghambaan, penyair Taufik Ismail menggambarkan tingginya minat pada rokok itu sebagai penuhanan, menjadikan rokok sebagai "tuhan sembilan senti" yang disembah-sembah setiap saat dan di segala tempat.
Sebagaimana Taufik Ismail, Tulus Abadi dan banyak lainnya, Kak Seto tetap berharap Pemerintah Indonesia lekas-lekas meratifikasi kerangka kerja FTCT tersebut. Saudi Arabia, melengkapi fatwa haram terhadap rokok yang telah dimilikinya, akhirnya tetap merasa perlu meratifikasi perjanjian pembatasan penggunaan tembakau itu pada 2005. Dan maju selangkah, baru pada 2009 ini Saudi akan memberlakukan larangan merokok bagi seluruh jamaah haji yang datang ke sana.
Ketentuan Saudi itu sedikit banyak tentu akan berpengaruh pada kesadaran kaum Muslimin dalam memerangi rokok. Tapi masyarakat tetap menunggu kepastian hukum agama yang dibuat oleh para ulama Indonesia, terutama dari MUI. Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Langitan KH Abdullah Faqih, fatwa MUI tentang rokok, apapun bunyi hukumnya nanti -- haram ataukah makruh -- sangatlah diperlukan agar masyarakat luas menjadi tahu hukumnya dari sudut pandang agama.
Selama ini masyarakat hanya mengetahui pengaruh dan efek negatif rokok dari kacamata kesehatan sebagaimana tercantum di setiap kemasan rokok, sementara hukumnya dari sudut agama belum tegas. Masyarakat masih bimbang dalam hal ini. Jika dikatakan rokok itu haram, mereka masih bertanya-tanya mengapa banyak kiai dan ulama tetap saja mengebulkan rokoknya di tempat-tempat umum. Jadi, tidak ada cukup alasan bagi sebagian mereka untuk tidak merokok.
Kiai Abdullah Faqih mengakui, ada sebagian ulama yang memfatwakan hukum merokok itu makruh. Tapi mereka umumnya sepakat bahwa hukum merokok bisa berubah menjadi haram karena adanya sebab-sebab tertentu seperti orang yang dilarang oleh dokter untuk merokok karena terindikasi penyakit tertentu. Namun, dengan mengacu pada bukti-bukti ilmiah dalam bidang kedokteran akhir-akhir ini, kiai yang rendah hati ini telah sampai pada kesimpulan yang kokoh bahwa rokok itu jelas hukumnya: Haram (lihat rubrik Wawancara).
1 komentar:
Salam,
Mas Ahmad, bagaimana dengan tulisan mengenai rokok yang akan dipublikasikan di rubrik Topik Utama, media anda? Bisakah saya diberikan link ke tulisan itu? Terima kasih.
Posting Komentar