Nyai dan Pemberdayaan Santri

--- Kembali ke Muka … ---

Oleh Ahmad Taufiq Abdurrahman

“Nyai”, gelar kehormatan nonakademis yang disandarkan kepada istri atau putri kiai. Meski mereka jauh dari publikasi media, namun peran para nyai ini sangat signifikan dalam pendidikan dan pengembangan intelektualitas di kalangan kaum perempuan.

Padang Panjang 1955, kala belahan lain bumi Indonesia lelap dalam euforia awal kemerdekaan, di daratan eksotik Sumatera Barat telah berdiri Diniyah Putri School. Motornya, Rahmah El-Yunusiyah (1901-1969) yang ingin mendidik perempuan Indonesia cakap, aktif, dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan keluarga, masyarakat dan Tanah Air.

Keberhasilan Rahmah mengelola lembaga ini menarik perhatian Rektor Universitas Al-Azhar Mesir, Dr Syaikh Abdurrahman Taj, untuk mengunjungi pada 1955. Sebagai penghargaan, Rahmah diundang berkunjung ke Negeri Piramid. Pada 1957, Rahmah melakukan kunjungan balasan, dan oleh universitas Islam tertua itu ia dikaruniai gelar “Syaikhah”.

Sukses Rahmah hanya sebuah turning point dan kepanjangan dari perjuangan tulus para pejuang pendidikan untuk perempuan. Nyai Ahmad Dahlan (1872–1946) dan Hajah Rangkayo Rasuna Said (1910-1965), misalnya, telah mengawali perjuangan ini dengan mendirikan lembaga pendidikan maupun pesantren khusus perempuan (ma’had lil-banât). Di sana remaja-remaja putri diajari baca-tulis. Nyai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi wanita Muhammadiyah “Sopo Trisno” pada 1917, cikal bakal organisasi Aisyiah. Dan HR Rasuna Said mendirikan Perguruan Putri di Medan. Sedangkan di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), Sholihah Wahid Hasyim mendirikan lembaga Muslimat.

Kesejahteraan Keluarga

Menurut penelitian BKKBN dan BPS, perempuan usia produktif di Indonesia saat ini telah mencapai 49,8 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Tentunya, jumlah ini sangat signifikan menentukan laju kemajuan bangsa. Tak heran jika Meutia Hatta Swasono (Potret Kebangkitan Perempuan Indonesia, 2008), menegaskan pentingnya pemberdayaan dan meningkatkan kualitas hidup perempuan. Karena perempuan adalah aset dan potensi pembangunan yang utama. “Bila perempuan memiliki kualitas hidup optimal, maka perempuan akan dapat bekerjasama dengan baik dalam pembangunan nasional, dan tidak menjadi beban pembangunan,” tegas Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan itu.

Salah satu lembaga utama pendidikan pemberdayaan perempuan yang efektif adalah pesantren. Hasil konferensi internasional Religion and Reproductive Health dua tahun lalu menegaskan signifikasi peran pesantren dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya bidang kesehatan dan kesejehteraan keluarga. Di Indonesia terdapat 15.000 pesantren, 11.000 di antaranya memiliki pesantren putri. Andai potensi ini digarap dengan baik, kesejahteraan negara, yang dimulai dari kesejahteraan keluarga, tentu akan lekas tercapai.

Namun, mengasuh santri perempuan bukanlah mudah. Tugas ini justru lebih berat dibanding mengasuh santri laki-laki. Dra Anisah Fathimah Zarkasyi, Pengasuh Tarbiyatul Muallimat al-Islamiyah (TMI Putri) Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, merasakannya. Ia membenarkan pesan bapaknya, KH Imam Zarkasyi, salah seorang pendiri Pondok Modern Gontor yang menegaskan agar pendidikan anak putri dilakukan dengan ekstra hati-hati, dan tidak boleh asal-asalan. ”Perempuan itu rawan fitnah,” pesan Kiai Zarkasyi. Kalau tidak hati-hati, masalah kecil bisa menjadi fitnah besar bagi santri dan pengasuhnya. Butuh kesabaran tinggi menghadapi setiap permasalahan dengan tegas.

Globalisasi yang rebak saat ini di samping membawa angin perubahan juga menuntut kehati-hatian banyak pihak menyikapinya. Utamanya pemberdayaan pendidikan bagi remaja putri. Modernisasi yang sarat efek negatif menyisakan pekerjaan rumah berat, khususnya dalam menjaga kemurnian Islam dari kontaminasi pemikiran, ideologi, dan faham-faham yang tidak bermoral.

Para pengasuh pesantren putri, dituntut berhati-hati dan mawas diri menjalankan pengasuhan dan pendidikan para santrinya, agar mereka dapat tetap berjalan di jalan syariah, di tengah terpaan modernitas dan globalisasi. Penumbuhan jati diri Muslimah dirasa paling urgen, untuk menjadi benteng penahan gempuran dampak negatif modernitas.

Peran Nyai

Dalam tradisi masyarakat Jawa dan Sunda, tokoh-tokoh Muslimah yang alim dalam bidang agama disebut “Nyai”. Gelar kehormatan nonakademis ini umumnya disandarkan kepada para istri atau putri kiai maupun pengasuh pesantren dan lembaga pendidikan keislaman yang dihormati. Peran para nyai ini sangat signifikan, baik secara langsung maupun di balik layar, dalam pendidikan dan pengembangan intelektualitas masyarakat, khususnya kalangan perempuan.

Kebutuhan pembangunan pesantren, bukan hanya dalam bidang intelektual, tapi juga dalam fisik dan kelembagaan. Nyai, figur sentral di samping kiai, berdiri sangat penting menjembatani kebutuhan ini. Meningkatnya kebutuhan santri, tanpa dibarengi dengan sarana yang mencukupi, menuntut semua pihak di lingkungan pesantren, utamanya para nyai, berjibaku memenuhi kekurangan ini.

Boleh jadi tak banyak orang mengenal nama Nyai Uniyati binti Haji Manaf. Istri KH Mahrus Amin, Pengasuh Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta, ini contoh kongkret bagaimana seorang nyai sadar dan rela berjuang di baik layar untuk memenuhi kebutuhan santrinya di masa-masa awal berdirinya pondok pesantren itu. Bahkan tak segan dan malu ia harus meminjam uang atau kebutuhan pokok ke sana sini agar santri yang diasuh suaminya bisa terus makan. Tak heran jika ia menegaskan, ibu nyai sekarang harus banyak beraktivitas, termasuk kegiatan bisnis untuk maslahat pondok.

Seiring waktu, peran nyai bukan hanya mengasuh dan mengajar santri. Tuntutan perluasan jaringan demi keberlangsungan pesantren menuntut kreativitas lebih. Dra Faridah Afiff, pimpinan Islamic Girls Boarding School (IGBS) Darul Marhamah, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, membuktikannya.

Dengan pengalaman matang di dunia organisasi Islam Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Faridah mampu menjadikan Darul Marhamah sebagai pusat kaderisasi Muslimah yang militan. Meski ia tidak full time di lembaga dengan sistem pendidikan sekolah umum yang menerapkan pola pengasuhan ala pesantren itu, namun kiprah Faridah cukup diperhitungkan. Berkat jaringan yang dimilikinya, Darul Marhamah kini mampu menjadi proyek percontohan (pilot project) Departemen Agama (Depag) untuk pengembangan madrasah bertaraf internasional.

Masih banyak lagi teladan para nyai yang berjasa, tanpa kenal lelah, tempat dan waktu turut berjuang membangun, menghidupi, dan mengembangkan pesantren. Baik melalui aktivitas sosial kemasyarakatan maupun politik. Tujuan mereka sama, membina SDM Muslimah penerus yang handal. Mereka adalah ibu bagi ribuan santri, penerus dan pejuang masa depan bangsa. Selamat Hari Ibu!

Tidak ada komentar: