PENGANTAR
Berdasarkan ijma' para ulama sepanjang zaman, orang yang mengingkari atau tidak mengimani hadits Nabawi hukumnya kafir. Sebabnya sederhana, karena hadits itu pada hakikatnya adalah wahyu dari Allah SWT. Hadits bukan karangan ulama, Sahabat atau semata-mata perkataan Nabi SAW. Meskipun secara lahiriah seolah keluar dari mulut Nabi, namun pada hakikatnya hadits adalah wahyu yang bersumber dari Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Qs. an-Najm [53]: 3-4)
Al-Qur`an bila dibaca akan mendatangkan pahala, bahkan meski tidak ada artinya, seperti saat kita membaca Alîf Lâm Mîm. Sedangkan membaca hadits, baru akan berpahala jika diiringi pemahaman dan pengamalan. Namun, sebelum mengamalkan sebuah hadits, kita harus mengetahui terlebih dahulu secara detail kondisi hadits yang akan diamalkan. Sikap ini membutuhkan pengetahuan dan wawasan kita seputar ilmu hadits, baik tentang kedudukan, posisi, derajat, hingga kesehatan hadits tersebut.
Untuk mengetahui kesehatan suatu hadits, perlu dilakukan studi kritik hadits. Yang bisa melakukannya tentu mereka yang sudah belajar ilmu hadits, baik lewat pendidikan formal, maupun otodidak belajar dari para ulama ahli hadits.
Selain itu, kita juga butuh panduan kitab-kitab yang memuat daftar track record para perawi hadits. Kitab ini dikenal dengan istilah kitab Rijâlul Hadîts. Tanpa kitab-kitab tersebut, nyaris mustahil kita dapat mengetahui keshahîhan sebuah hadits. Syeikh Nashiruddin al-Albani rahimahullâh adalah salah seorang yang telah menghabiskan sebagian besar waktunya di perpustakaan untuk meneliti semua perawi. Hasilnya, Kutubus-Sittah (kitab perawi yang enam) telah ia kaji ulang dan ia pilah antara yang shahîh atau dha’îf.
Begitulah yang seharusnya dilakukan para pelajar dan pemerhati hadits sebelum mengamalkan sebuah hadits. Ini sangat perlu mengingat perjalanan panjang hadits hingga sampai kepada kita yang terbuka untuk diselewengkan oleh kelompok tertentu demi kepentingan mereka.
Dalam kaitan dengan pendidikan ekonomi Islam, kajian ilmu hadits juga sangat signifikan di samping kajian tentang Kitab Utama, al-Qur`an al-Karim. Terlebih latar belakang teori yang banyak dipergunakan keabsahan ekonomi Islam telah dinukil dari hadits Nabi SAW. Karenanya, sangat ironis jika seorang ekonom Islam hanya cenderung mewawasakan diri dengan hal-hal konvensional dan melupakan wawasan dasar utama kebijakan ekonomi Islam, yaitu hadits. Tengoklah istilah-istilah populer dalam ekonomi Islam, seperti mudhârabah, murâbahah, atau jenis-jenis mu’âmalah lainnya.
Singkatnya, tidak berlebihan jika kita nyatakan hadits adalah substansi ekonomi Islam. Tanpa hadits, tak mungkin ada teladan pola terapan ekonomi Islam. Untuk itu, mempelajari ilmu hadits –yang merupakan perangkat dasar memahami keabsahan hadits- juga menjadi utama.
MENGENAL ILMU HADITS
Hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan pernyataan (taqrir) dan sebagainya.
Atsar ialah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Taqrir ialah keadaan Nabi Muhammad SAW mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau dikatakan para sahabat di hadapan beliau.
Sahabat ialah orang yang bertemu Rasulullah SAW dengan pertemuan yang wajar sewaktu beliau masih hidup, dalam keadaan Islam dan beriman.
Tabi'in ialah orang yang menjumpai sahabat dalam keadaan iman dan Islam, dan mati dalam keadaan Islam, baik perjumpaan itu lama atau sebentar.
Matan ialah lafadz hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Disebut juga isi hadits.
Unsur-Unsur yang harus ada dalam menerima hadits:
1. Sanad atau thariq. Yaitu jalan yang dapat menghubungkan matan hadits kepada Rasulullah SAW.
Contoh:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِى سُفْيَانَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا [يُفَقِّهْهُ] فِي الدِّيْنِ.
Dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, niscaya [Allah pahamkan ia] dalam agamanya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Kalimat: عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِى سُفْيَانَ adalah sanad atau thariq hadits ini.
2. Matan hadits. Yaitu pembicaraan atau materi berita yang disampaikan oleh sanad terakhir. Pembicaraan itu baik sabda Rasulullah, Sahabat ataupun Tabi'in. Isi pembicaraannya baik tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan Sahabat yang tidak disanggah Nabi SAW.
Kalimat: مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا [يُفَقِّهْهُ] فِي الدِّيْنِ Pada hadits di atas adalah matan hadits.
3. Rawi. Yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan segala yang pernah ia dengar dan terima dari seseorang atau guru. Perbuatannya menyampaikan hadits tersebut dinamakan me-rawi atau meriwayatkan hadits. Dan pelakunya disebut perawi.
Ada beberapa kategori perawi:
1. As-Sab'ah: diriwayatkan oleh tujuh perawi, yaitu: Ahmad, Bukhari, Turmudzi, Nasa'i, Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Majah.
2. As-Sittah: diriwayatkan oleh enam perawi. Yaitu, semua nama yang tersebut di atas (As-Sab'ah) selain Ahmad.
3. Al-Khamsah: diriwayatkan oleh lima perawi. Yaitu, semua nama yang tersebut di atas (As-Sab'ah) selain Bukhari dan Muslim.
4. Al-Arba'ah: diriwayatkan oleh empat perawi. Yaitu: semua nama yang tersebut di atas (As-Sab'ah) selain Ahmad, Bukhari dan Muslim.
5. Ats-Tsalâsah: diriwayatkan oleh tiga perawi. Yaitu: semua nama yang tersebut di atas (As-Sab'ah) selain Ahmad, Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah.
6. Asy-Syaikhâni: diriwayatkan oleh dua orang perawi, yaitu Bukhari dan Muslim.
7. Al-Jamâ'ah: diriwayatkan oleh para perawi yang banyak.
PEMBUKUAN HADITS
DAN ILMU RIWAYAT HADITS
Para Sahabat Rasulullah SAW yang paling banyak meriwayatkan hadits antara lain:
- Abu Hurairah (5374 hadits).
- Ibn Umar (2630 hadits).
- Anas ibn Malik (2286 hadits).
- Aisyah Ummul Mukminin (2210 hadits).
- Ibn 'Abbas (1660 hadits).
- Jabir ibn 'Abdullah (1540 hadits).
Para Sahabat yang melakukan pembukuan hadits antara lain:
1. Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash (7-65H): As-Shahifah As-
Shadiqah.
2. Abdullah ibn Abbas (3-68H).
3. Jabir ibn Abdillah Al-Anshari (16-78H): As-Shahifah.
4. Hamam ibn Munabbih (40-131H): As-Shahifah As-Shahihah.
Pembukuan dan Pelembagaan Hadits
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz adalah salah seorang khalifah bijak saat dinasti Bani Umayyah. Ia memelopori pembukuan dan pelembagaan hadits-hadits Nabi SAW, dengan memerintahkan Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm untuk melakukannya.
Perintah Umar ibn Abdul Aziz sebagai berikut: “Perhatikanlah hadits Rasulullah, lalu tulislah. Karena sesungguhnya aku khawatir akan hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama. Dan janganlah diterima kecuali hadits Nabi SAW.”
Selanjutnya, Ibn Hazm menunjuk ulama besar, yaitu Ibn Syihab Az-Zuhri, untuk melakukan pelembagaan hadits. Mereka berdua merupakan thabaqat awal pembukuan hadits. Ibn Hazm pulalah yang memulai dan mencetuskan Ilmu Riwayatul Hadits. Yaitu ilmu tentang meriwayatkan sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan-perbuatan, taqrir dan sifat-sifatnya. Ilmu ini hanya tertuju pada pengumpulan hadits-hadits, tanpa memeriksa detail kesahan atau tidaknya sesuatu yang orang sandarkan kepada Nabi SAW.
Manfaat Ilmu Riwayatul Hadits
1. Agar kita dapat membedakan antara sesuatu yang orang sandarkan kepada Nabi SAW, dan yang disandarkan kepada selain beliau.
2. Agar hadits tidak beredar dari mulut ke mulut, atau tulisan ke tulisan lain saja, tanpa sanad.
3. Untuk mengetahui jumlah hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW.
4. Untuk memeriksa sah tidaknya sanad dan matan sebuah hadits.
Ulama pencatat atau perawi hadits yang mu`tabar dari generasi Tabi’in:
1. Said Ibnl Musayyab (15-94 H)
2. Urwah ibn Zubair (22-94 H)
3. Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm (Wafat th.117 H)
4. Muhammad ibn Muslim ibn Syihab Az-Zuhri (50-124 H)
5. Imam Nafi’ (wafat 117 H)
6. Ubaidillah ibn Abdullah ibn Utbah (Wafat 98 H)
7. Salim ibn Abdullah ibn Umar (Wafat 106 H)
8. Ibrahim ibn Yazid An-Nakha’I (46-96 H)
9. Amir ibn Syarahil Asy-Sya’bi (19-103 H)
10. Alqamah ibn Qais An-Nakha’i (28-62 H)
11. Muhammad ibn Sirrin (33-110 H)
12. Ibn Juraij Abdul Aziz ibn Juraij (Wafat 150 H)
13. Said ibn ‘Arubah (Wafat 156 H)
14. Al Auza’i (Wafat 156 H)
15. Sufyan At-Tsauri (Wafat 161 H)
16. Abdullah ibn Mubaarak (118-181 H)
17. Hammad ibn Salamah (Wafat 176 H)
18. Husyaim (Wafat 188 H)
Ulama pencatat atau perawi hadits yang mu`tabar dari generasi Tabi’ut Tabi’in:
1. Bukhari (194-256 H), Kitab: Al-Jaami’ush Shahih atau Shahih Bukhari.
2. Muslim (204-261 H), Kitab: Shahih Muslim.
3. Abu Daud (202-275 H), Kitab: As-Sunan Abi Daud.
4. At-Tirmidzi (209-279 H), Kitab: As-Sunan At-Tirmidzi.
5. An-Nasa’i (215-303 H), Kitab: As-Sunan An-Nasa’i.
6. Ibn Majah (207-275 H), Kitab: As-Sunan Ibn Majah
7. Malik ibn Anas (90/93-169 H), Kitab: Al-Muwaththa’.
8. Asy Syafi’i (150-204 H), Kitab: Al-Umm.
9. Ahmad ibn Hambal (164-241 H), Kitab: Al-Musnad Ahmad.
10. Ibn Khuzaimah (223-311 H), Kitab: Shahih Ibn Khuzaimah.
11. Ibn Hibban (----354 H), Kitab: Shahih Ibn Hibban.
12. Hakim (320-405 H), Kitab: Al-Mustadrak.
13. Ad-Daaruquthni (306-385 H), Kitab: Sunan Daaruquthni.
14. Al Baihaqi (384-458 H), Kitab: Sunan Al-Kubra.
15. Ad Daarimi (181-255 H), Kitab: Sunan Ad-Daarimi.
16. Abu Dawud At-Thayaalisi (----204 H), Kitab: Musnad At-
Thayalisi.
17. Al Humaidi (---219 H), Kitab: Musnad Al-Humaidi.
18. Ath Thabrani (260-360 H), Kitab: Mu’jam Al-Kabir, Mu’jam Al-Ausath, Mu’jam As-Shagir.
19. Abdurrazzaaq (126-211 H), Kitab: Mushannaf Abdurrazzaaq.
20. Ibn Abi Syaibah (----235 H), Kitab: Mushannaf Ibn Abu
Syaibah.
21. Abdullah ibn Ahmad (203-209 H), Kitab: Az-Zawaa`id Al-Musnad.
22. Ibnl Jaarud (---307 H), Kitab: Al-Muntaqa.
23. At-Thahaawi (239-321 H), Kitab: Syarah Ma’aani Al-Atsar, Musykil Al-Atsar.
24. Abu Ya’la (---307 H), Kitab: Musnad Abu Ya’la.
25. Abu ‘Awanah (---316 H), Kitab: Shahih Abu ‘Awaanah
26. Said ibn Manshur (---227 H), Kitab: As-Sunan Said ibn Manshur.
27. Ibn Sunni (---364 H), Kitab: ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah.
28. Ibn Abi ‘Ashim (---287 H), Kitab: Kitab As-Sunnah, Kitab Zuhud.
KLASIFIKASI (PEMBAGIAN) HADITS
A. Bila ditinjau dari segi thuruq (jalur periwayatan), hadits terbagi menjadi dua: mutawatir dan ahad.
1. Hadits Mutawatir, adalah hadits yang memenuhi empat syarat berikut ini:
a. Diriwayatkan oleh segolongan orang yang banyak jumlahnya.
b. Menurut kebiasaan, mustahil mereka sepakat dalam kedustaan.
c. Mereka meriwayatkannya melalui orang yang semisal, mulai dari permulaan hingga akhir.
d. Hendaknya musnad terakhir dari para perawi berpredikat hasan (baik). Karena hadits mutawatir dapat bermanfaat memberi ilmu yang bersifat dharuri, atau ilmu yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya.
Contoh hadits mutawatir: Hadits yang mengatakan:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأَْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Barangsiapa berdusta terhadapku atau atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia bersiap-siap menempati tempat duduknya dari api neraka.”
2. Hadits Ahad. Yaitu hadits yang di dalamnya terdapat cacat pada salah satu syarat mutawatirnya. Hadits ahad dapat bermanfaat memberi faedah yang bersifat zhan, dan adakalanya dapat memberi ilmu yang bersifat nazhari (teori) apabila dibarengi dengan bukti yang menunjukkan kepadanya.
Hadits ahad ada tiga macam. Yaitu:
a. Hadits Shahih. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, memiliki hapalan yang sempurna, sanadnya juga muttashil (saling berhubungan antara satu dengan lainnya), serta tidak mu’allal (tercela), dan tidak pula syadz (menyendiri).
Adil: adil dalam riwayat. Yakni, seorang muslim yang telah aqil baligh, bertakwa dan menjauhi semua dosa-dosa besar. Pengertian adil ini mencakup laki-laki, wanita, orang merdeka, maupun budak belian.
Dhabth: hapalan. Ada dua macam dhabth, yaitu:
• Dhabth shard: Perawi yang bersangkutan hapal semua hadits yang diriwayatkannya di luar kepala dengan baik.
• Dhabth kitab: Perawi yang bersangkutan memelihara pokok hadits yang diterima dari gurunya dari perubahan perubahan (atau dengan kata lain “text-book”).
Mu’allal: hadits yang dimasuki suatu ‘illat (cela) tersembunyi, hingga mengharuskannya dimauqufkan (diteliti lebih mendalam).
Syadz: Perawi tsiqah (yang dipercaya) meriwayatkan hadits yang berbeda dengan orang yang lebih tsiqah darinya.
b. Hadits Hasan. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun hapalannya kurang sempurna, tetapi sanadnya muttashil dan tidak mu’allal maupun syadz.
Hadits Hasan akan menjadi kuat bila didukung oleh satu atau dua jalur periwayatan lainnya. Jika demikian maka predikatnya akan naik menjadi Shahih Lighairihi.
c. Hadits Dha’if. Yaitu hadits yang peringkatnya di bawah hadits hasan, karena di dalamnya terdapat cela pada salah satu syarat hasan.
Hadits dha’if akan menjadi kuat jika didukung oleh jalur periwayatan atau sanad lainnya. Maka kemudian predikatnya akan naik menjadi Hasan Lighairihi.
Hadits shahih dan hasan, keduanya dapat diterima untuk dijadikan hujjah (landasan hukum), sedangkan hadits dha’if ditolak.
Hadits dha’if hanya dapat dijadikan panduan dalam hal keutamaan beramal (fadha’il a’mal). Tetapi dengan syarat:
- Predikat dha’ifnya tidak terlalu parah.
- Subjek yang diketengahkan masih termasuk dalam pokok syariat.
- Saat mengamalkannya, tidak boleh meyakininya sebagai hal yang telah ditetapkan. Tujuan mengamalkannya harus diyakini hanya untuk menjaga kehati-hatian dalam beramal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar