Ahmad Taufiq Abdurrahman MA*
Berdasarkan ijma' para ulama sepanjang zaman, orang yang mengingkari atau tidak mengimani hadits Nabawi hukumnya kafir. Sebabnya sederhana, karena pada hakikatnya hadits merupakan wahyu dari Allah SWT. Hadits bukan karangan ulama, Sahabat atau semata-mata perkataan Rasulullah SAW. Meski secara lahiriah seolah keluar dari mulut Nabi SAW, namun pada hakikatnya hadits adalah wahyu yang bersumber dari Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Qs. an-Najm [53]: 3-4)
Al-Qur`an bila dibaca akan mendatangkan pahala, bahkan meski tidak ada artinya, seperti saat kita membaca Alîf Lâm Mîm. Sedangkan membaca hadits, baru akan berpahala jika diiringi pemahaman dan pengamalan. Namun, sebelum mengamalkan sebuah hadits, kita harus mengetahui terlebih dahulu secara detail kondisi hadits yang akan diamalkan. Dan sikap ini membutuhkan pengetahuan dan wawasan kita seputar ilmu hadits, baik tentang kedudukan, posisi, derajat, hingga kesehatan hadits tersebut.
Untuk mengetahui kesehatan suatu hadits, perlu dilakukan studi kritik hadits. Yang bisa melakukannya tentu mereka yang sudah belajar ilmu hadits, baik lewat pendidikan formal, maupun otodidak belajar dari para ulama ahli hadits.
Selain itu, kita juga butuh panduan kitab-kitab yang memuat daftar track record para perawi hadits. Kitab ini dikenal dengan kitab Rijâlul Hadîts. Tanpa kitab-kitab tersebut, nyaris mustahil kita dapat mengetahui keshahîhan sebuah hadits. Syeikh Nashiruddin al-Albani rahimahullâh adalah salah seorang yang telah menghabiskan sebagian besar waktunya di perpustakaan untuk meneliti semua perawi. Hasilnya, Kutubus-Sittah (kitab perawi yang enam) telah ia kaji ulang dan ia pilah antara yang shahîh atau dha’îf.
Begitulah yang seharusnya dilakukan para pelajar dan pemerhati hadits sebelum mengamalkan sebuah hadits. Ini sangat perlu mengingat perjalanan panjang hadits hingga sampai kepada kita, sangat terbuka untuk diselewengkan kelompok tertentu demi kepentingan mereka.
Dalam kaitan dengan pendidikan ekonomi Islam, kajian ilmu hadits juga sangat signifikan, di samping kajian tentang Kitab Utama, al-Qur`an al-Karim. Terlebih latar belakang teori yang banyak dipergunakan keabsahan ekonomi Islam telah dinukil dari hadits Nabi SAW. Karenanya, sangat ironis jika seorang ekonom Islam hanya cenderung mewawasakan diri dengan hal-hal konvensional dan melupakan wawasan dasar utama kebijakan ekonomi Islam, yaitu hadits. Tengoklah istilah-istilah populer dalam ekonomi Islam, seperti mudhârabah, murâbahah, atau jenis-jenis mu’âmalah lainnya.
Singkatnya, tidak berlebihan jika kita nyatakan hadits adalah substansi ekonomi Islam. Tanpa hadits, tak mungkin ada teladan pola terapan ekonomi Islam. Untuk itu, mempelajari ilmu hadits –yang merupakan perangkat dasar memahami keabsahan hadits- juga menjadi utama.
*Dosen Ilmu Hadits Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Islamic Village dan Universitas Az-Zahra Jakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar