Diterbitkan di Majalah Qalam, edisi dummy oktober 2008, rubrik Fokus
Suatu ketika, di bulan Maret 1978, Presiden RI kala itu, Soeharto, berkunjung ke Pondok Modern Gontor Ponorogo yang tengah merayakan Kesyukuran Setengah Abad pondok modern pertama di Indonesia itu. Dalam acara ramah tamah saat peresmian Masjid Jami’ Gontor terjadi dialog antara KH Imam Zarkasyi dan Presiden Soeharto. Soeharto bertanya, “Berapa persen pendidikan agama dan umum di Gontor Pak Kyai?” Kiai Imam Zarkasyi menjawab, “Pendidikan agama 100% dan pendidikan umum 100%.” Soeharto bertanya lagi, “Apa tidak gila santrinya?” Dengan memberi isyarat jari telunjuk pada keningnya, Kiai Imam Zarkasyi menjawab, “Sampai sekarang santri di sini tidak ada yang gila.”
Nukilan dialog tersebut menguak selintas gambaran pemikiran Kiai Imam Zarkasyi soal dikotomi pendidikan yang diejawantahkannya dalam format Pondok Modern Gontor yang kini telah mencetak ribuan kader intelektual muslim yang mumpuni, dalam bidang ilmu keislaman maupun keduniaan. Bagi Kiai Zarkasyi, dalam sistem pendidikan yang digagasnya tidak ada dikotomi antara pendidikan agama maupun umum.
Pada 1977, Konferensi Muslim Dunia Pertama mengenai pendidikan muslim mengajukan salah satu usaha untuk menghilangkan dikotomi sistem pendidikan yang ada di seluruh dunia muslim. Diputuskan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah perlu segera dirumuskan sistem terpadu bidang keilmuan. Semua cabang ilmu harus diintegrasikan dengan ajaran-ajaran Islam, karena pendidikan Barat dianggap hanya dapat mengembangkan peradaban masterialistik belaka.
Ziauddin Sardar memberikan solusi untuk menghilangkan dikotomi itu dengan cara meletakkan epistemologi dan teori sistem pendidikan yang bersifat mendasar. Menurutnya, untuk menghilangkan sistem pendidikan dikotomis di dunia Islam perlu dilakukan usaha-usaha berikut ini: Pertama, dari segi epistemologis, umat Islam harus berani mengembangkan kerangka pengetahuan masa kini yang terartikulasi sepenuhnya. Ini berarti kerangka pengetahuan yang dirancang harus aplikatif, tidak sekedar "memenara gading" saja. Kerangka pengetahuan dimaksud setidaknya dapat menggambarkan metode-metode dan pendekatan yang tepat, yang nantinya dapat membantu para pakar muslim dalam mengatasi masalah-masalah moral dan etika yang sangat dominan di masa sekarang.
Kedua, perlu ada suatu kerangka teoritis ilmu dan teknologi yang menggambarkan gaya-gaya dan metode-metode aktivitas ilmiah dan teknologi yang sesuai tinjauan dunia dan mencerminkan nilai dan norma budaya Muslim. Ketiga, perlu diciptakan teori-teori sistem pendidikan yang memadukan ciri-ciri terbaik sistem tradisional dan sistem modern. Sistem pendidikan integralistik itu secara sentral harus mengacu kepada konsep ajaran Islam, misalnya konsep tazkiyyatun-nafs, tauhid, dan sebagainya.
Disamping Sardar, ada lagi beberapa tokoh yang mengemukakan konsep solusi, seperti al Faruqi, Amrullah Ahmad. Tampaknya metode penyelesaian dikotomi yang ditawarkan itu bersifat mendasar, oleh karenanya membutuhkan waktu cukup lama.
Upaya integrasi ilmu agama dan ilmu umum tidak bisa diukur dengan prosentase alokasi waktu yang disediakan untuk pengajaran ilmu agama dan ilmu umum. Yang sangat diperlukan dalam usaha ini ialah dipahami dan diterimanya paradigma dan wawasan yang tidak mempertentangkan ilmu agama dan ilmu umum dan tumbuhnya perhatian yang lebih besar terhadap ilmu umum di dalam kalangan pesantren, khususnya sains. Dengan itu, diharapkan muncul kesadaran untuk melakukan upaya peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran -baik ilmu agama mau pun ilmu umum- dengan menggunakan bench-marking sekolah yang bermutu, secara bertahap, mulai taraf regional lalu taraf nasional. Taraf internasional pada masa depan dapat dicapai oleh pesantren dan sekolah-sekolah tertentu yang punya potensi dan memang serius untuk berjuang mencapainya.
Kendalanya, menumbuhkan pemahaman dan kesadaran ke dalam diri para ulama pimpinan pesantren bahwa ilmu agama dan ilmu umum tidak perlu dipertentangkan dan sama utamanya dalam pandangan Islam, bukanlah hal mudah, dan memerlukan waktu.
Sejumlah SMA berasrama seperti SMA Insan Cendekia dan lain-lain adalah jenis baru dari “pesantren” yang tumbuh belum terlalu lama. SMA itu lebih menitikberatkan pada pengajaran ilmu umum (non-agama) yang bermutu, sedangkan pendidikan agama difungsikan sebagai penanaman nilai, dalam upaya pembentukan karakter atau akhlak mulia. Hasil pendidikan semacam ini perlu dipantau terus untuk kurun yang lama, mungkin hingga puluhan tahun, untuk mengetahui rekam jejak para alumninya. Apakah mereka mampu menjadi insan sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah diterapkan ataukah tidak.
Apa yang dilakukan Universitas Islam Negeri (UIN)
Alih Fungsi Pesantren
Di tengah kuatnya harus modernisasi, dunia pendidikan Islam di Indonesia mengalami pasang surut. Dalam dinamika pesantren tradisional, tercatat degradasi mutu dan kualitas pendidikan akibat munculnya kecenderungan untuk lekas mengalihkan tradisi kepesantren menuju pemodernan dengan membuka sekolah formal agama maupun umum.
Pesantren Tebuireng pernah menjadi pesantren terkemuka di Indonesia pada era 1930-an hingga 70-an. Pesantren ini mendirikan Madrasah Tsanawiyah pada 1953, Madrasah Aliyah pada 1962, dan SMP/SMA pada 1975. Menurut pengakuan pengasuh Pesantren Tebuireng (http://tebuireng.net), dulu MTs dan MA Tebuireng mutunya baik. Namun kondisinya kini tak beda seperti kebanyakan madrasah atau sekolah umum yang bernaung di bawah kebanyakan pesantren. Bedanya hanya dalam prosentase pembelajaran ilmu agama dan ilmu umum yang diajarkan, yang sayangnya diakui masih belum terintegrasi.
Dalam pernyataannya, KH Salahuddin Wahid mengakui bahwa mutu pendidikan di Tebuireng kini amat menurun dibanding sekian puluh tahun lalu, baik dalam pengajian maupun pendidikan formalnya. “Saya kuatir hal yang sama juga terjadi di kebanyakan pesantren, kecuali pesantren tertentu yang masih memegang teguh tradisi pesantren tradisional dan tidak mendirikan sekolah umum,” aku KH Salahuddin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar