Integrasi Agama-Umum di Perguruan Tinggi

Oleh: Ahmad Taufiq Abdurrahman

Diterbitkan di Majalah Qalam, edisi dummy oktober 2008, rubrik Fokus

Banyak kalangan kerap bingung membangun pola integrasi ilmu agama dan umum di perguruan tinggi yang layak. Eksperimen perluasan status IAIN (Institut Agama Islam Negeri) yang merupakan pilar utama pendidikan tinggi keislaman menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) kini menjadi polemik. Kebijakan ini dinilai banyak kalangan telah “kebablasan”, karena telah keluar dari dasar berdirinya lembaga itu yang seharusnya concern dan fokus dalam kajian keislaman saja.

Dalam sebuah makalahnya, Membangun Integrasi Ilmu Agama dan Umum (Mencari Basis Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis), A Khudori Soleh, salah seorang Dosen UIN Malang menuturkan, perubahan status STAIN dan IAIN menjadi UIN, yang kemudian meniscayakan adanya pembukaan fakultas dan jurusan-jurusan yang dikategorikan sebagai jurusan umum, memang telah menambah nuansa dan pemikiran baru di kalangan civitas akademika UIN. Pandangan-pandangan tentang fenomena alam dan pemikiran tentangnya yang selama ini tidak banyak dikenal dalam tradisi ilmu-ilmu keagamaan mulai sering disampaikan oleh dosen-dosen eksakta (fakultas umum), baik dalam diskusi maupun perkuliahan.

Namun, pembukaan jurusan umum di UIN yang kemudian diikuti dengan program rekrutmen terhadap dosen-dosennya yang kebanyakan juga diambilkan dari para sarjana lulusan PTN umum, ternyata bukan tanpa masalah. Secara metodologis dan keilmuan, mereka berbeda dengan pola dan sistem berpikir dalam ilmu-ilmu keagamaan yang telah dikembangkan di UIN. Hal ini dapat menimbulkan gap dan pertentangan antara dosen agama dan umum. Paling tidak, dapat menyebabkan kebingungan di antara mahasiswa.

Dapat dibayangkan, jika seorang dosen menyatakan bahwa sumber ilmu adalah indera dan metodenya adalah observasi, sementara yang lain menyatakan sumber ilmu adalah intuisi dan metodenya adalah pembersihan hati (kasyf). Atau seorang dosen menyatakan bahwa disiplin ilmunya murni bersifat empirik tanpa berkaitan dengan dogma agama, sementara dosen yang lain menyatakan bahwa tidak ada satupun disiplin ilmu yang lepas dari pantauan teks suci.

Kenyataan itu benar-benar terjadi nyaris di semua UIN, termasuk UIN Jakarta sebagaimana disinyalir Mulyadhi Kartanegera (Mulyadhi, 2000, hal. 251).

Untuk mengatasi persoalan tersebut, menurut Imam Suprayogo (Rekonstruksi Paradigma Keilmuan Perguruan Tinggi Islam), pihak-pihak pimpinan UIN sebenarnya telah melakukan langkah-langkah penyelesaian lewat apa yang dikenal dengan “program integrasi ilmu pengetahuan”. Dalam konsep integrasi ini, posisi ilmu agama dan umum di gambarkan dalam apa yang disebut sebagai “pohon ilmu”. Dalam pohon ilmu ini, al-Qur`an dan al-Hadits diposisikan sebagai hasil eksperimen dan penalaran logis, sama-sama menjadi sumber inspirasi keilmuan, sehingga tidak ada perbedaan antara ilmu agama dan umum karena masing-masing berpijak pada sumber yang sama.

Gagasan “pohon ilmu” tersebut, sepintas, tampak telah menyelesaikan persoalan dikotomi ilmu agama dan umum. Akan tetapi, secara metodologis, gagasan itu sebenarnya masih hanya berbicara pada tataran luar keilmuan, belum pada aspek substansial, masalah ontologis dan epistemologis, sehingga belum benar-benar menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Kenyataannya, “pohon ilmu” belum berbicara tentang bagaimana mempertemukan antara metode empirik-eksperimen yang di ambil dari tradisi Barat dengan metode pembacaan teks yang bernuansa spitual dari Islam. Jika masalah ini tidak diselesaikan, maka yang terjadi sebenarnya bukan integrasi melainkan hanya labelisasi, tepatnya labelisasi al-Qur`an atas ilmu-ilmu Barat sekuler. Dan inilah yang terjadi dalam pemikiran sebagian dosen dan karya-karya penelitian mahasiswa maupun skripsi mereka.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka sangat penting dilakukan penelitian tentang persoalan-persoalan epistemologis sebagai basis utama program integrasi keilmuan di perguruan-perguruan tinggi Islam. Meski demikian, kajian epistemologis belaka ternyata tidak cukup. Di sini masih butuh kajian ontologis. Sebab, seperti ditulis Naquib al-Attas, tidak ada gunanya epistemologis Islam jika basis ontologisnya tidak diintegrasikan dalam Islam. Sebab, ia akan tetap sekuler dan menolak kebenaran agama sebagaimana yang terjadi di Barat (Naquib al-Attas, 1971, hal. 50)

Selain itu, perlu juga kajian aksiologis, sebagai bekal etika dalam aplikasi keilmuan, sehingga para civitas akademika dan para calon sarjana dapat bergerak dan bekerja sesuai dengan etika Islam.

Ketiga basis keilmuan tersebut: ontologis, epistemologis dan aksiologis, tidak dapat diabaikan dalam program integrasi keilmuan. Sebab, suatu ilmu akan tetap sekuler dan “liar” jika tidak didasarkan atas pandangan ontologis atau pandangan dunia (world view) yang utuh atau tauhid. Begitu juga, sebuah epistemologi keilmuan akan tetap bersifat eksploitatif dan menindas jika tidak didasarkan atas basis ontologi Islam. Meski demikian, bangunan keilmuan yang telah terintegrasikan tersebut tidak akan banyak berarti jika dipegang orang atau sarjana yang tidak bermoral baik. Karena itu, perlu dibenahi aspek aksiologisnya. (A Khudori Soleh, 2003, hal. 247)


Mungkinkah terjadi integrasi?

Integrasi keilmuan antara agama (Islam) dan umum (Barat) bukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan. Namun, mengingat bahwa semua keilmuan lahir dari basis ontologism, epistemologis dan aksiologis, dan ternyata basis keilmuan Islam dan umum (Barat) berbeda, maka diperlukan parameter-parameter tertentu sehingga tercapai tujuan-tujuan tersebut. Untuk mencapai hal tersebut tidak cukup dengan memberi justifikasi ayat al-Qur`an pada setiap penemuan dan keilmuan, memberikan label Arab atau Islam pada istilah-istilah keilmuan dan sejenisnya, tetapi perlu ada perubahan paradigma pada basis-basis keilmuan Barat, agar sesuai dengan basis-basis dan khazanah keilmuan Islam yang berkaitan dengan realitas metafisik, religius dan teks suci.

Ini penting, sebab sebuah ilmu akan tetap bernafaskan sekuler, jika tidak didasarkan pada basis ontologis atau pandangan dunia (world view) yang utuh dan ‘tunggal’ atau tauhid dalam istilah Naquib Attas. Begitu pula, sebuah epistemologi akan tetap bersifat ‘eksploitatif’ dan ‘merusak’ jika tidak didasarkan atas ontologi yang Islami. Namun demikian, bangunan ilmu yang telah terintegrasi tidak banyak berarti jika dipegang orang yang tidak bermoral rusak dan tidak bertanggungjawab. Karena itu, perlu dibenahi pada aspek aksiologinya.

Bangunan integrasi antara ilmu agama dan umum harus mempertimbangan basis-basis tersebut. Secara ontologis harus mempertimbangkan adanya realitas lain di samping realitas empiric. Secara epistemologis harus memperhatikan posisi wahyu dan intuisi serta hubungan keduanya dengan rasio. Dan secara aksiologis harus mengarah pada tujuan-tujuan tertentu yang tidak sekedar duniawi.

Di akhir tulisannya, A Khudori Soleh menyarakan agar dalam membangun integrasi ilmu agama dan umum, hendaknya mempertimbangkan basis-basis keilmuan di atas: ontologis, epistemologis dan aksiologis. Tidak hanya memberikan justifikasi ayat atau hadis. Sebab, semua itu hanya bersifat semu bukan yang sesungguhnya, sehingga hanya berupa labelisasi ayat dan bukan integrasi keilmuan.


Referensi:

A Khudori Soleh, “Membangun Integrasi Ilmu Agama dan Umum (Mencari Basis Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis)”, dipresentasikan dalam acara temu riset keagamaan tingkat nasional IV di Palembang, 26-29 Juni 2006.

Mulyadhi, “Membangun Kerangka Ilmu Perspektif Filosofis” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed), Problem dan Prospek IAIN, (Jakarta, Depag, 2000)

Naquib al-Attas, Islam the Concept of Religion and the Foundations of the Ethics and Morality, (Kuala Lumpur, ABIM, 1971).

A Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003)

Imam Suprayogo, Rekonstruksi Paradigma Keilmuan Perguruan Tinggi Islam, Sebuah Tawaran Baru dari Pengalaman UIN Malang, (Makalah tidak diterbitkan).


--- Kembali ke Muka … ---

Tidak ada komentar: