Panggilan Tuhan terhadap nabi Musa untuk pergi ke bukit Sinai dilakukan oleh nabi Musa dengan penuh kepasrahannya walau dengan perjuangan berat. Panggilan hati untuk kembali nimbrung di milist ini bukan karena panggilan Tuhan, tapi panggilan dari bathin akan tanggung jawab moral dan social. Dari dulu pun gue punya kesadaran akan pelangi (yang kata intan) yang merupakan sebuah kewajaran. Hanya saja, apakah keseriusan yang dibalas dengan dagelan (atau sebaliknya) juga merupakan pelangi andai ditempatkan pada lokasi masyarakat yang bertemperatur emosional tinggi dengan pelangi egoisme dan fitrah egoisme kesukuan yang sensitive (karena pelangi di langit sabandsa ini) ?? "Likulli maqam maqal (in every place there have to be an equivalent word)" …. Ok Let’s interrupt on this topic it latter !!
Bahasan fikar soal ayat tathir (penyucian) tuh sebenarnya menurut gue masih agak gelap akurasi penggunaannya (walau sabab nuzulnya lumayan akurat), karena :
Pertama, Perbedaan pendapat ulama seputar kriteria golongan yang disebut ahli bait (itrah -dalam hadits tsaqalain) ?? apakah tanasubul ayat tersebut sifatnya sempit hanya "per se" tubuh yang ada saat turunnnya ayat tsb (kata fikron: nabi, isrinya n hasan plus husein), ataukah harus diperluas sampai beberapa batasan keturunan (liat 11, 8 atau 7 imam syiah, atau hadits nabi ttg jumlah "pemimpin dari qolongan qurasyh … liat kitab muwathaa’ imam malik bab "imamah min qurasyh"). Trus apakah keturuanan nabi dari salahsatu anak (hasan atau husain) atau lebih luas pada komunitas umum keturunan qurasy lainnya ? (liat kerajaan hasyimiyah di Jordan sekarang yang klaim mereka keturunan umum hasyim, kerajaan alawiyah di Marocco).
Kedua, Tathir yang dimaksud, apakah tathirun nafs, ato tathirul jasad ?? Kayaknya kita sedikit sepakat tathir di sini adalah "pensucian diri dari dosa" yang sifatnya nafs (spiritual n bukan material jasad). I agreed with that. Tapi apakah batasan tathir nafs sifatnya "past n future" seperti kesucian nabi Muhammad yang dijamin past n futurenya ?? n apakah jaminan ini eksklusif untuk personal nabi atau juga untuk keturunannya ?
Ketiga, Terminology kata "Rijza" apakah mungkin diartikan sebagai "keburukan-2 material duniawi", ataukah rijz yang sifatnya bathin (hasad, nifaq n fitnah) ? Hubungannya dengan gugatan pertama dan kedua, apakah "kotoran2" para keturunan klan Muhammad sudah pure guaranted ? n sampai batas mana, siapa n kapan ??
--- Tradisi turun temurun ??? ----
Dalam topik ini layak diacungkan jempol orang2 yang mampu melawan arus modernisasi dengan mempertahankan jatidirinya (cooperative modernity). Kelebihan bangsa Yahudi, Arab, dn Aryan (India, Afghan dan Pakistan) dengan konsistensi penjagaan "halaman" tradisi membuat mereka cukup dapat diperhitungkan oleh bangsa Barat (kulit putih -Euro) … gak seperti bangsa mongoloid (Indo-china n malay) yang sangat mudah terembas bias semu modernitas material.
Kelebihan imigran Arab di Asia tenggara (gue pernah bikin bahs soal ini waktu kul di dual arab) adalah kecenderungan fleksibelitas mereka untuk melakkan pembauran konstum dengan masyarakat local, ini berbeda dengan imigran china yang relatif lebih radikal menolak pembauran kostum local n original mereka.
Dan dari kelebihan ini, adaptasi klan-klan arab dengan masyaakat local lebih dapat diterima (ditambah lagi dengan dimensi Islam yang mendukung "penerimaan absolut" terhadap keberadaan klan2 arab sebagai "saudara akidah").
Sebulan yang lalu, gue berdiskusi dengan Dr. Itrach Wizman (seorang yahudi Israel ahli sufisme n pengaran buku handal soal ini, datang ke Aligarh untuk ngadain seminar soal Naqshabandiah), n hal krusial yang gue gugat adalah skeptisme Islam Indonesia (karena percikan pengaruh sufisme Qadiriyah) dan dominasi dogmatis keturunan Arab dalam dinamika syiar n pemikiran Islam Indonesia.
Hasilnya adalah sebuah "missing link" doktrin Islam dari root (makkah-madinah) yang sampai ke Indonesia, karena penyebaran awalnya adalah melalui jalur (Malaka-Gujarat-Yaman), dan jalur-2 ini memiliki karakteristik spiritual n ritual yang sangat kontras dengan sufisme original yang berasal dari dataran gurun … (Malaka, Gujaran n Yaman bergeologi kelauatan n pegunungan). Hingga keberhasilan dominasi Hadhrami mayoritas disebabkan oleh dimensi cultural alam tropis.
Dan fenomena ini memberikan warna khusus bagi tipikal ide "pelestarian tradisi leluhur" kelompok keturunan arab di Indo (Hadhrami) dengan pola pelestarian ala Yamanis … garis keturunan selatan (garis keturunan timur bisa dilihat di Iran, dan barat di Saudi hingga Maroco).
Juga "kewajaran" bagi gue untuk menerima kenyataan eklusifitas masyarakat keturunan arab di Indo, adalah … tipe umum (bahkan dari zaman klasik pra Islam hingga sekarang) yang cenderung sectarian. Keagungan "bani" (suku atau klan) merupakan ciri khas dasar tradisi arab. Dan "pelestarian budaya leluhur" (baik dengan eklusifitas social -dan khususnya perkawinan) kalangan hadhrami di Indo adalah kewajaran.
Cuma yang akan menjadi bumerang dikemudian hari adalah kemungkinan "anarki" pribumi terhadap "klan asing" (kalo di zaman kerusuhan revormasi terjadi anarki anti-china, lalu mungkin saja suatu saat akan terjadi anarki anti-arab).
Dan kecemburuan pribumi sebenarnya berakar dari "hasad" karena ketidak mampuan pribumi mengelola diri, tanah dan kekayaannya secara professional, hingga malah justru pendatang (dan keturunan pendatang) yang "lebih kritis dan cerdas" dapat menguasainya … ITULAH KEBODOHAN ORANG INDONESIA !!!
-----------
Isu n topik soal heterogenitas budaya udah pernah gue diskusiin ma kawan2 di milist ppi-india beberapa bulan yang lalu, khususnya yang berkaitan dengan fenomena ‘Keturunan arab dan radikalisme Islam di Indonesia" (dan tema ini yang insyaAllah akan jadi topik disertasi Phd gue …: "Arab fundamentalism and its influence to Indonesian Islamic Movement n Thought (the Analytical perspective on the religio-social-political aspect of thought n movement in Islamic Indonesian Modern Age).
Berikut ini gue paste cuplikan respone gue atas tanggapan beberapa pandangan kawan2 yang ‘agak Arabian-hatred", n gue harap buat kawan yang Alawiyyin jangan tersinggung soal ini, karena ini hanya sebuah visi indera gue, kemudian gue susun dalam wacana kalimat.
"Salam Islam ...
Ada sebuah pengalaman yang mungkin dapat saya share untuk kawan-2 dalam milist ini seputar diskusi kita soal hadrami ini. Yaitu kejadian ketika saya pulang liburan musim panas yang lalu ke tanah air; saya diajak Bapak saya untuk menghadiri acara Haul Habib Umar al-Attas di daerah Bogor. Ada satu kejadian yang sekiranya dapat jadi I’tibar bagi saya untuk meresume betapa "Arab mania" masyarakat Indonesia bisa membutakan mata dan hati mereka. Dalam acara haul itu (sebagaimana rutinitas pengajian ala Tarekat yang membacakan burdah, shalawat, doa nll) saya melihat betapa hadirin yang jutaan itu dapat terhipnotis oleh kharisma sang hidung mancung, jenggot, sorban dan minyak wangi khas ala gurun -yang terkadang menyesakkan hidung modern saya yang sudah
terbiasa dengan parfum ala Prancis.
Ketika pembacaan burdah dan shalawat dan doa yang panjang telah selesai, saya berfikir bahwa acara akan segera berakhir untuk menuju hidangan makan nasi kembuli (karena kebetulan perut saya sangat luapar sekualiii karena saya harus memaksa mengosongkan perut dari malam hari untuk hadir ke lokasi tersebut agar dapat tempat strategis dalam acara "sakral" tahunan tersebut). Tapi ternyata tiba-2 ada seorang tamu tuan rumah seorang Arab asli berseragam habib (lengkap dengan sorban hijau, jenggot, parfun nll) berdiri dan mengambil alih pengeras suara untuk menyampaikan beberapa patah kata sambutan dalam bahasa arab yang isinya cuma pujian-2 (bahkan taasub sekali) tentang keistimewaan Alm. Habib Umar dalam beramal, berderma dan ibadahnya. Anehnya tanpa instruksi seluruh hadirin mengangkat tangan dan meneriakkan AMIEN !!
Dapat anda bayangkan betapa terkejutnya saya menyaksikan fenomena ini (karena alhamdulillah saya dapat sedikit memahami beberapa kosa kata bahasa arab slang (‘amiah) hasil dari pendidikan saya di Cairo-Mesir). Dan betapa mirisnya hati saya untuk menerima kenyataan bahwa masyarakat tempat saya lahir dan dibesarkan dapat terkelabui oleh performance dan linguist manusia berseragam sorban hijau, jenggot dan parfum gurun itu !!! :((
Tapi akhirnya saya menyadari bahwa disengaja atau tidak kebodohan ini berangkat dari propaganda pembodohan" yang sudah berlangsung dari lahirnya speasis baru di tanah Palapa ini.
Saya melihat ada beberapa faktor yang menyebabkan lahirnya ghirah (kecenderungan) masyarakat Indonesia (umumnya dan masyarakat saya pada khususnya) untuk dapat menerima kebodohan ini sebagai keyakinan:
1. Sentiment agama yang telah dimanipulir baik dalam sejarah dan konsep tentang keberadaan ahl-bait (keturunan Rasulullah, yang menurut kalangan Syi’ah hanya keturunan dari rumpun Ali bin Abi Thalib, dan menurut kalangan Sunni keturunan umum Rasulullah), dengan misunderstand penafsiran konteks hadits Tsaqalain (2 hal yang sangat berharga) khususnya pemahaman terhadap kata ‘Ithrati (‘ithrah: kerabat). Dan pesan Rasulullah dalam hadits ini untuk terus menjaga dan menghormati kerabatnya.
2. Dimensi psikologis masyarakat Indonesia yang nrimo’ (kurang kritis) dan ‘ndoro’ (selalu butuh dan patuh terhadap jendral & kusir hidupnya), yang melahirkan tipologi masyarakat budak dan pembantu. Kaitannya dengan sejarah pertumbuhan Islam Indonesia terlihat dengan lahirnya jendral dan jurumudi Islam baik dengan pola "wali’ (seperti wali songo) atau Habaib.
3. Aspek emosional sejarah kebangsaan Indonesia (yang berhubungan langsung dengan lahan ekonomi) khususnya dampak propaganda kolonial dan orba dalam pengkotakan dan pengistimewaan etnis tertentu (cina) untuk menjadi wakil cukong di tanah asing, yang melahirkan kecemburuan ras minoritas lain hingga mereka lebih memilih menjadi oposan -dan provokator, untuk berjalan bersama pribumi melakukan perang dan perlawanan terhadap "kumpeni" dan status quo orba. Dan sentiment ini menambah kekaburan masyarakat pribumi untuk membedakan "hidung mancung" dan "mata sipit".
Ditambah lagi dengan dimensi sosial kemasyarakatan yang menunjukkan bahwa pola "gaul" manusia gurun tersebut lebih indonesiawi, dengan kecenderungan adaptasi dan asimilasi terhadap pola datar masyarakat Indonesia (hingga kemudian dikenal istilah "Arab Madura, Arab betawi" nll). Hingga secara mudah etnis gurun ini dapat diterima dengan mudah menjadi anggota masyarakat Negara Kesatuan RI dengan hak sosial dan politik penuh.
Solusi untuk mengatasi ‘warisan kebodohan" ini adalah dengan jalan pendidikan. Pendidikan Modern Islam -seperti ala pesantren modern (semi sekuler), layak menjadi contoh utama. Karena pola pendidikan Islam tradisional bukan hanya menyebabkan ketertinggalan satri (murid dan masyarakat) dalam arus globalisasi dunia, tapi juga radikalisme dan fundamentalisme sangat rentan terlahir dari masyarakat yang berpola (dan berbasis) pendidikan santri tradisional. Dan pendidikan modern akan membuka tabir awam untuk meninggalkan persepsi bahwa Islam identik dengan Arab (yang berjubah, jenggot, sorban dan parfum gurun) untuk dapat menerima Islam "lain" (bercelana jeans, rambut gondrong, topi/pet, parfum Prancis tapi berhati Ka’bah).
Terima kasih
Pipix Taufiq Abdurrahman
Faculty of Theology
Aligarh Muslim University (AMU) India
Tidak ada komentar:
Posting Komentar