Durjana dan Hutang Hidupnya

Durjana dan Hutang Hidupnya

Pengelana berteduh di sempilan jaring bambu
Hujan deras tiba-tiba menghujami sadarnya
Selir rezim pengguna jasa negara dengan taring dan cakarnya
ia dengkurkan sabda, “Hai penggarap bahasa agama!
Tutup mulut liar dan celoteh gaibmu!
Karena aku hanya percaya benda!
Tiada Tuhan selain moyangku!”

Hati pemberontak kelana kini telah dibalut
gemulai syair krama dan kesadaran
Hanya senyum terpaksakan membinar dari bibir tertindas
“Lidahmu bak aroma malaikat pencabut nyawa,” resahnya
Laknat yang dideritanya lebih dahsyat dari hembusan gelombang panas sahara

Hati musyafir tetap ramah
Sebait prosa tobat dikirimkan untuk menggugah angkara
Tapi takdir Tuhan telah menutup aksara tobatnya
karena dendam yang berlipat

Suatu hari, pengembara berjalan di alam tangan bernafas
Muncullah kemilau kuning selir duta dengan pelangi kesombongan
Disambut sapa, ia tetap angkuh
Dipapa sopan, ia tetap acuh
Dicoba raba hati, tapi ia terus mengandaskan dirinya dengan bara cerita lama

Marah lestari sang pengadu nasib dengan harga diri
Tapi ia terhalangi tembok tipis bertirai … sahabat

“Oh … sulit sekali melepaskan tiara rantai kelambu.”
Walau ia terus berusaha untuk lingkarkan hati
Tapi tonggak nasib jaring bambu telah tertoreh luka
Mungkin hanya tergantikan nyawa pelatuk mesiu

Semoga sesal tak akan bertapa
dalam lembayung pinisi kehidupannya
Tuhan Maha Tahu betapa ia terluka
Tertancap panah karena kelengahan tangan mengolah prosa langit
Seharusnya sudah dapat terpahami oleh kasat logika
Kecuali bagi yang tertutup pori-pori kepercayaannya

Bara emosi ternyata menyia-nyiakan perjalanan,
ilmu dan didikan sementara
Mengoyak rindu akan adanya cerita indah
cengkrama dengan puteri di permadani asmara bergengsi
Tiada dusta, hanya bersama
Mengayuh dayung meraih daratan pengenalan abadi

Tuhan berada di jalan lain
Tak pernah tersentuh oleh durjana
Dirinya yang lelah akan hitungan hari dan hutang hidupnya

Amin …

Summer Mosquito, era Dodhpur, Balcony Palace, 19-5-2003

Tidak ada komentar: