Skenario di Balik 9/11
Oleh: Ahmad Taufiq Abdurrahman
Diterbitkan dalam rubrik “Kajian” Majalah Gontor, edisi Desember 2008
Banyak cerita seputar runtuhnya WTC, pencakar langit kebanggaan Amerika. Arab Conspiracy Theory (ACT) hasil rekayasa Gedung Putih, menyisakan banyak misteri. Patutlah jika kemudian lahir teori-teori lain hasil riset dan investigasi. Salah satunya seperti berikut ini, dikutip dari http://www.how911wasdone.blogspot.com.
Seminggu sebelum peristiwa 9/11 terjadi, Larry Silverstein, membeli sebuah gedung murah yang dekat dengan kompleks gedung WTC. Murah karena mengacu kepada gedung berasbes. Ia pastikan bahwa gedung itu akan lolos dari aksi teroris. Selanjutnya ia menyewa perusahaan keamanan Israel dimana 2-3 minggu sebelum peristiwa 9/11 memutus aliran tenaga listrik di seluruh gedung WTC dengan alasan pemeliharaan, sehingga gedung dalam keadaan kosong dan ahli peledakan dapat bekerja tanpa ada gangguan.
Pada saat itu kondisi gedung aman sehingga memungkin tim ahli peledak dari tentara Israel yang dipimpin oleh Peer Segalovits masuk ke dalam gedung WTC. Bahan-bahan peledak tersebut beserta detonatornya (pemicu) telah disiapkan dengan izin dari perusahaan Urban Moving System, milik Mossad. Selama pekan tersebut, bahan peledak yang telah disiapkan itu diangkut ke dalam sebuah mobil van, dibawa ke basement WTC lalu di bawa ke lift, dikeluarkan di lift, dan diangkat ke atas atap lift dengan cara membuka langit-langit lift.
Selanjutnya lift itu bergerak dari satu lantai ke lantai lainnya sementara bahan peledak terus dipasang di tempat-tempat sebagaimana yang terlihat di video ini dari menit 0:22 seterusnya. Detonator (pemicu) bahan peledak tersebut bekerja dengan sistem kendali radio dan akhirnya diledakkan dari WTC7 di hari peristiwa 9/11.
Kilas balik, Hamburg 54 Marienstrasse, Juli 2000, pukul 22:40. Mohammad Atta, al-Shehhi dan Jarrah, yang kemudian disalahkan sebagai pilot pesawat dengan nomor penerbangan 11, 175 dan 93, bertiga mereka tinggal dalam satu apartemen. Tiba-tiba bel pintu berdering. Jarrah membukanya, dan lima orang bertopeng dan bersenjata api menerobos masuk.
Tiga orang Arab itu dipaksa tiarap. Paspor mereka diambil. Mereka dibuat pingsan dengan suatu cairan. Tak lama kemudian mereka meninggal. Jasad mereka dibawa keluar dari apartemen, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah mobil van lalu dibawa ke sebuah tempat sepi di sebuah gedung dekat sungai Elbe di luar Hamburg, satu kilometer sebelah utara Borstel, lalu dibuang ke sungai dengan kaki terikat pemberat batu dalam tas.
Paspor mereka selanjutnya diberikan kepada tiga agen terpilih Mosad yang memiliki kemiripan dengan ketiga pria Arab itu. Agen-agen itu pergi ke Amerika saat musim panas tahun 2000, dan mengikuti sekolah penerbangan, dengan identitas curian.
Beberapa tahun sebelumnya, Michael Goff, orang Israel bekerja di Ptech. Perusahaan milik orang Arab mengembangkan software beberapa institusi pemerintah, seperti Norad dan FAA. Menggunakan saluran yang aman, Goof menghubungi Amit Yoran, orang Israel lainnya, untuk mengatur rencana memberikan komputer yang memiliki program akses memecahkan kode kepada tentara Israel. Hal ini berkait dengan peristiwa pembajakan yang tidak terdeteksi karena penerbangan yang dibajak di bawah pengawasan Norad.
Pesawat yang dibajak, sebenarnya dikendalikan dengan remote kontrol dan diterbangkan ke WTC. Pembajakan pesawat terbang menggunakan remote kontrol sebelumnya telah diuji pada misi penghancuran penerbangan 990 maskapai Egypt Air milik Mesir, yang meledak di laut Altanlik, 31 Oktober 1999.
Di hari peristiwa 9/11, agen Israel yang mirip “para pembajak Arab” itu sengaja menampakkan diri agar tertangkap sorotan kamera. Data ini penting karena pihak keamanan di kedua bandara tempat pemberangkatan pesawat yang akan dibajak berada di bawah perusahaan Israel. Meski perusahaan itu cabang perusahaan yang berpusat di Belanda, namun dimiliki oleh Israel, melalui ICTS yang dipimpin Menahem Atzmon. Hal tentang lelaki ini, ia berteman akrab dengan Ehud Olmert, petinggi politik Israel, sejak 1998.
Setelah para agen Israel “mirip pembajak” berdiri dan tertangkap kamera, mereka kemudian meninggalkan bandara melalui pintu masuk di samping bandara. Tak lama setelah pesawat lepas landas, seseorang mampu mengirimkan sinyal ke pesawat untuk mengambil alih operasi pesawat dan membuat pilot maupun pusat pengendali tak mampu mengendalikan pesawat lagi. Jalur pesawat pun diubah.
Pilot mungkin sudah mencoba untuk mengendalikan pesawatnya, tapi tak mampu. Dalam kondisi demikian, tak lazim jika ia memberitahukan kondisi kritis itu kepada para penumpang, khawatir mereka panik. Karena tenang, para penumpang mengira tidak terjadi apa-apa, hingga tak ada alasan mereka melakukan pemanggilan melalui telepon seluler ke teman-teman mereka.
Ketika para penumpang 9/11 menuju kematian, di darat agen Israel menelepon para relasi penumpang menggunakan teknologi pengubah suara. Rekayasa suara palsu itu, sangat mampu dihasilkan kaum Yahudi karena mereka menguasai jaringan telekomunikasi besar Amerika, seperti perusahaan Amdocs atau Verint.
Saat para penumpang bingung karena mereka tujuan pesawat mereka berubah ke New York. Tak sempat mereka lakukan apa-apa. Ledakan pun terjadi. Saat sebagian besar penduduk New York berada dalam situasi mencekam, para ahli peledakan gedung malah bersuka ria merayakan keberhasilannya. Sungguh rencana rapih dan berjalan dengan baik.
Sumber: http://www.how911wasdone.blogspot.com/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar