Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam

Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam

Oleh: Ahmad Taufiq Abdurrahman MA

Diterbitkan dalam Topik Utama Majalah Gontor edisi Juni 2008

Apa jadinya bila Islam tak pernah ada? Mungkinkah konflik peradaban, perang suci, atau teroris tak pernah ada? Apakah Timur Tengah tanpa Islam dapat menjadi sentra perdamaian dan demokrasi? Ataukah juga peristiwa 9/11 tetap akan terjadi?

Pertanyaan mengandai itu rebak sejak artikel A World Without Islam (Sebuah Dunia Tanpa Islam) karya Graham Fuller, mantan Wakil Ketua CIA dan guru besar sejarah Universitas Fraser, Vancouver, dirilis Foreign Policy, edisi Januari-Februari 2008 lalu. Respon, kecaman dan sapaan hangat Fuller terima, karena konteks tulisannya yang multi-tafsir.

Kalangan anti-Islam menghujatnya, karena Fuller dinilai memihak Islam dan menolaknya sebagai pemicu utama kekacauan dunia. Kalangan agamis lain menilai Fuller terlalu apologis karena secara implisit mengesankan bahwa agama lain potensial dan pernah terlibat kegiatan teror. Dan kalangan islamis juga menganggap Fuller meremehkan kekuatan Islam untuk menjadi kekuatan pengubah dunia.

Bagi Fuller, tanpa Islam, pun dunia memang sudah punya kecenderungan untuk kacau. Jika Islam dalam kacamata Barat identik dengan Timur Tengah, Fuller menilai justru tanpa Islam, wajah suatu bangsa, khususnya bangsa-bangsa di Timur Tengah akan lebih kompleks dan membingungkan. Dominasi dan perebutan kuasa politik antaretnik, baik Arab, Persia, Turki, Kurdi, Yahudi bahkan Barbar dan Pashtun akan tetap terjadi.

Karena itu Fuller menilai Islam sangat tidak bertanggung jawab atas konflik peradaban, namun peradaban itulah yang harus bertanggung jawab atas konfliknya sendiri. Fuller mengakui Islam sebagai kekuatan budaya dan moral telah mampu menjembatani perbedaan etnis dalam kebhinekaan orang Muslim, memberi mereka semangat untuk merasa sebagai satu bagian dari peradaban Islam. Dan peradaban itu memberi mereka cita-cita bersama, termasuk perlawanan atas pelanggaran batas yang dilakukan Barat terhadap Islam.

Fuller menafikan pendapat kebanyakan para pemikir dan analis yang menilai perlawanan kaum Muslim terhadap Barat disebabkan oleh penolakan terhadap modernitas. Bagi Fuller, perlawanan itu terjadi lebih murni disebabkan oleh motif kekecewaan atas imperialisme berlarut-larut yang Barat lakukan terhadap ruang, sumber daya, bahkan budaya dunia Muslim. Terlebih sejak era ditemukannya “emas hitam” minyak bumi di wilayah Timur Tengah. Dan tanpa perlawanan kaum Muslim, atau tanpa Islam di dunia ini, imperialisme Barat akan mudah mendominasi Timur Tengah dan Asia lainnya.

Jika Islam membenci modernitas, imbuh Fuller, mengapa perlawanan mereka harus menunggu sampai 9/11? Ditambah lagi dengan upaya gencar para pemikir Islam yang terus mendorong kaum Muslimin untuk merangkul modernitas. “Itu sebabnya mengapa Osama bin Laden di awal perjuangannya sama sekali tidak mengangkat masalah modernitas. Ia membicarakan tentang Palestina, keberadaan AS di tanah Saudi Arabia, serta kecenderungan para penguasa Saudi yang dikendalikan AS,” tulis Fuller.

Jika Islam tak ada, lanjut Fuller, clash of civilization (benturan peradaban) Barat yang didominasi Kristen Roma tetap akan terjadi. Musuhnya bukan Islam, tapi Kristen Timur Ortodoks yang dalam tesis Samuel Huntington tergolong sebagai “ancaman” peradaban Barat.

Dalam kaitan identifikasi Islam sebagai pemicu terorisme, Fuller menilai fokus Barat mengenai terorisme atas nama Islam terlalu naif dan dangkal. Ia membandingkan lebih banyak teror lain yang telah dilakukan kalangan non Muslim. Seperti genosida terstruktur yang dilakukan bangsa Eropa Kristen terhadap kaum Yahudi lewat praktek inkuisisi selama lebih dari satu millenium, kulminasinya terjadi dalam holocaust yang dimotori Nazi.

Tren bom bunuh diri yang marak terjadi di wilayah konflik Muslim dewasa ini, pada hakikatnya tak sekejam teror bom bunuh diri yang telah dipraktikkan puluhan tahun lalu oleh kalangan Hindu “Macan Tamil” di Sri Langka. Begitu pula kegiatan para teroris Yunani yang puncaknya membunuh pejabat Amerika Serikat di Athena. Atau terorisme terorganisir Sikh yang membunuh Indira Gandhi hingga pembajakan pesawat India Air. Pun, teroris Macedonia yang meneror seluruh Balkan selama Perang Dunia pertama.

Lusinan pembunuhan besar-besaran pada akhir abad ke-19 dan awal abad 20 juga telah dilakukan kelompok anarkis Eropa dan Amerika. Terorisme brutal tentara Republik Irlandia (IRA) selama beberapa dekade terhadap Inggris contoh kecilnya. Begitu pula gerilya komunis dan teroris Vietnam melawan Amerika, kaum komunis Malaysia melawan tentara Inggris pada 1950 dan gerakan Mau Mau di Kenya. Serta ratusan daftar teror lainnya yang memperlihatkan ketidaklayakan Muslim untuk dicap sebagai pelaku utama tindakan terorisme.

Bahkan Fuller memaparkan laporan Europol yang menyebutkan: 498 serangan teroris di Uni Eropa pada 2006, 424 di antaranya dilakukan oleh kelompok separatis, 55 dilakukan oleh ekstrimis sayap kiri, dan 18 dilakukan oleh gerakan teroris lainnya. Hanya satu yang benar-benar dilakukan oleh kalangan Islam.

Walau sangat menolak kekerasan yang dilakukan kalangan jihadis Islam radikal yang mengatasnamakan agama, namun Fuller menilai, sepanjang sejarah, kekerasan seperti itu telah banyak dilakukan kelompok-kelompok yang menggunakan agama, ras, ideologi sekuler, maupun perlawanan kelas sebagai alibi. “Saya tidak percaya bahwa ini akan hilang jika agama, ras, atau kelas sosial dihapuskan. Karena manusia selalu dapat mengatasi perbedaan antara mereka dan lainnya, serta menggunakannya untuk membenarkan tindakan buruk terhadap manusia lain,” tulis Fuller.

Begitu pula tentang tudingan Barat terhadap Islam yang dianggap anti demokrasi, Fuller menganalisisnya dengan pertanyaan terbalik: “Mungkinkah Timur Tengah akan menjadi lebih demokratis tanpa Islam?” Menurut Fuller, dalam sejarah kediktatoran, di Eropa sendiri terlihat jelas penolakan mereka terhadap demokrasi. Spanyol dan Portugal baru mampu mengakhiri kediktatoran kejamnya pada pertengahan 1970. Demokrasi Yunani juga berada di balik kediktatoran gereja. Kristen Rusia pun masih belum mampu meninggalkan kediktatorannya hingga kini. Sampai sekarang, Amerika Latin masih berada dalam cengkraman kedikatatoran yang ditunggangi dan didukung AS, bermitra dengan gereja Katolik. Belum lagi mayoritas negara Kristen Afrika yang mengalami kondisi tak jauh lebih baik dari semua itu hingga sekarang.

Dalam konteks ketegangan antara Timur dan Barat, Fuller meragukan jika Islam tak ada maka dunia akan lebih damai. Tanpa Islam pun persaingan berdarah, perang dan kesengsaraan tetap akan mendominasi geopolitik. “Bendera-bendera” lain, seperti marxisme, nasionalisme, maupun ide-ide kebebasan akan mengoyaknya. Menurut Fuller, konflik Timur-Barat intinya adalah seputar masalah historis dan geopolitik sejarah manusia: keetnisan, nasionalisme, ambisi, keserakahan, sumber daya, kepemimpinan, tanah, pendapatan finansial, kekuasaan, intervensi, anti orang luar, hingga imperialisme.

Fuller menuding bangsa Eropa-lah yang menelorkan konflik global yang menghancurkan. Dan itu tak ada hubungannya dengan sejarah Islam. “Yang membuat dua kali Perang Dunia adalah mereka,” tegas Fuller. Islam baginya bukan penyebab masalahnya. Bahkan, imbuh Fuller, sangat rumit untuk mencari surah yang tepat dalam al-Qur’an yang menjelaskan mengapa kaum Muslim harus membenci bangsa Eropa.

Kongklusinya, Fuller menilai bahwa akar masalah konflik dunia dewasa ini bukanlah Islam. Tapi imperialisme dan kolonialisme. Ia menentang kalangan yang menggulirkan isu Islamofacisme, yang mengarahkan Islam sebagai pemicu timbulnya Perang Dunia Ketiga. (Taufiq)

--- Kembali ke Muka ..... ----

Tidak ada komentar: