Ekonomi Islam di Pesantren


Oleh: Ahmad Taufiq Abdurrahman

Diterbitkan: Wacana Utama Majalah Gontor, edisi November 2007

Pelajaran fikih hampir diajarkan di seluruh pesantren, sayangnya pengembangan aplikasi fikih muamalahnya terlalaikan. Padahal, lulusan pesantren terbilang sangat diperhitungkan.

Semarak dan kegairahan pendidikan ekonomi Islam di tingkat perguruan tinggi, ternyata tidak dibarengi dengan dukungan pendidikan di tingkat bawahnya (pendidikan menengah dan atas, termasuk pesantren). Alasan latennya adalah masalah ketiadaan rujukan kurikulum dasar pendidikan ekonomi Islam dari Diknas maupun Depag.

Padahal, di pesantren telah lama diajarkan fikih muamalah, yang di dalamnya dapat ditemukan dasar-dasar pengetahuan dan istilah-istilah ekonomi syariah. Namun sayangnya, materi ini kurang dikembangkan menjadi ilmu aplikatif yang bermanfaat untuk diamalkan dalam dunia bisnis dan praktek ekonomi Islam di masyarakat.

Gunawan Yasni, Direktur Batasa Capita menilai, pengembangan ini sangat mendesak untuk dilakukan, agar benturan (gap) dunia pendidikan dan pasar tenaga kerja terhindarkan. Sebenarnya, dengan pelajaran fikih muamalah kita telah memiliki modal dasar untuk menghindari benturan tersebut, tinggal menunggu pengembangan aplikasinya saja. Di negara maju, imbuh Gunawan, gap ini terhindarkan berkat kemampuaan mereka dalam menjembatani para mahasiswa calon alumni dengan dunia kerja melalui pengajaran yang dirancang sangat baik dalam kurikulum yang matang.

Baginya, jangankan pesantren, perguruan tinggi di Indonesia pun saat ini masih kurang mampu memberi jembatan bagi mahasiswanya untuk terjun ke pasar kerja. Bahkan, keinginan untuk praktek langsung di laboratorium saja masih sulit karena minimnya sarana. ”Interface antara dunia pendidikan dengan pasar kerja ril masih belum terbentuk dengan baik,” tegasnya.

Khusus ekonomi syariah yang berkaitan dengan pesantren, Gunawan mengharap agar pembiayaan kepada BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah) di sekitar pesantren lebih ditingkatkan. Karena dengan adanya BPRS di sekitar pesantren, yang dipimpin oleh orang yang berkompeten dan dijalankan oleh orang-orang pesantren, maka ghirah (dorongan dan semangat) untuk mengembangkan ekonomi syariah di lingkungan pesantren pun akan lebih besar. ”Fikih muamalah yang dipelajari di pesantren bisa langsung dipraktekkan di BPRS. Namun tetap dalam bimbingan orang-orang yang berkompeten. Dengan pendekatan itu, pesantren akan tertuntut untuk mengembangkan ekonomi syariah,” tandasnya.

Perimbangan matrikulasi

Secara umum mahasiswa yang berlatarbelakang pesantren dinilai memiliki kompetensi yang sangat besar, karena mereka memiliki penguasaan ilmu bahasa dan turast yang baik. ”Sehingga modal utama untuk belajar ilmu syariah telah mereka kuasai, dan dengan mudah pula mereka dapat mengakses ilmu ekonomi syariah,” papar Sigit Pramono SE Ak MSACC, Wakil Ketua I Bidang Akademik STIE SEBI.

Baginya, mahasiswa yang berlatarbelakang ekonomi konvensional jelas akan mengalami kesulitan jika ingin belajar fikih muamalah dan ekonomi syariah, karena tidak memiliki latarbelakang pendidikan bahasa Arab. Idealnya, imbuh sigit, untuk mengarahkan mahasiswa berlatarbelakang ekonomi konvensional, pada tahun pertama dan kedua mereka sudah harus mampu menguasai ilmu bahasa dengan baik.

Untuk itu, dibutuhkan adanya semacam boarding dan matrikulasi yang kuat, sehingga dalam dua tahun mereka dapat menyelesaikan permasalahan bahasa. SEBI berusaha mengantarkan mahasiswa yang berlatarbelakang pesantren maupun nonpesantren untuk menguasai ilmu bahasa. SEBI juga mengemas kembali kurikulum fikih muamalah yang ada, sehingga para mahasiswa dapat menguasai ilmu ekonomi syariah dan konvensional secara imbang. Baik dari segi perhitungan maupun hukum ekonomi Islam.

Hal senada juga diungkap Euis Amalia, Kaprodi Mu’amalah/Ekonomi Islam UIN Jakarta. Menurutnya, saat ini dibutuhkan upaya keras untuk membangun sinergi pendidikan ekonomi Islam dari perguruan tinggi hingga tingkat bawah. Untuk tingkat perguruan tinggi, Euis sangat menyayangkan masih banyaknya materi menumpuk yang harus dijalani para mahasiswa ekonomi Islam, khususnya di UIN, dari materi MKDU hingga kompetensi dan kejuruan. Saat ini, untuk jenjang S1, mahasiswa dibebani 174 SKS yang sangat melelahkan.

Untuk itu Euis mengharap, agar ke depan segera dilakukan efisiensi, khususnya berkaitan dengan materi-materi pendukung. Seperti materi-materi bahasa yang sebenarnya sangat cukup disaring melalui pengujian dan sertifikasi dari lembaga bahasa, tanpa perlu menambah beban kuliah formal.

Juga, Euis mengharap agar matrikulasi yang diberikan dapat berlaku imbang. Seperti untuk mahasiswa lulusan lembaga pendidikan Islam, baik pesantren maupun Aliyah, matrikulasi yang harus mereka jalani adalah ilmu-ilmu eksakta dan ekonomi yang memang kurang mereka kuasai. Sedangkan untuk lulusan umum, SMU atau sejenisnya, matrikulasinya adalah dalam bidang ilmu-ilmu agama.

Eius sangat berharap agar Depag, selaku regulator pendidikan ekonomi Islam, turun dan melihat kebutuhan nyata bagi pengembangan pendidikan ekonomi Islam. (taufiq)

Tidak ada komentar: