Sulitnya Pendidikan Ekonomi Islam


Oleh: Ahmad Taufiq Abdurrahman

Diterbitkan: Wacana Utama Majalah Gontor, edisi November 2007

Otonomi pendidikan memaksa lembaga penyelenggara pendidikan ekonomi Islam aktif mencari sendiri format muatan dan mutu kurikulum pendidikannya. Tentunya ini memicu kesenjangan dan ketimpangan.

Dalam tiga dasawarsa terakhir, ekonomi Islam mengalami perkembangan sangat pesat, baik dalam bentuk kajian akademis maupun praktek operasional. Sejak 1970-an kajian empiris ilmiah dan riset tentang ekonomi Islam terus dilakukan dan disosialisasikan ke berbagai negara, sehingga gerakan akademis ekonomi Islam makin berkembang. Sejak tahun 1990-an, studi ekonomi Islam telah dikembangkan di berbagai universitas, baik di negeri-negeri Muslim maupun Barat.

Di perguruan-perguruan tinggi Malaysia, kajian akademis ekonomi Islam telah dimulai sejak 1983. Namun di Indonesia, kajian ini sangat tertinggal, dan baru marak pada 2000-an. IAIN Sumatera Utara-lah pionir pengembang kajian ini, dengan mendirikan Forum Kajian Ekonomi dan Bank Islam (FKEBI) pada 1990, dan membuka Program D3 Manajemen Bank Syari’ah pada 1997. Lalu universitas-universitas lain pun turut menjamurkan kajian ini dalam berbagai strata.

Selintas, dari fenomena pertumbuhan kajian dan pendidikan ekonomi Islam di Indonesia, ternyata perguruan tinggi umum justru lebih peduli dan bersemangat mengembangkannya dibanding perguruan tinggi Islam, kecuali IAIN-SU. Bahkan, UIN Jakarta baru bisa membuka konsentrasi perbankan syariah dan asuransi syariah pada 2002.

Walau sebenarnya konsentrasi ekonomi syariah telah dimulai sejak 1997/1998 dengan berdirinya STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Syariah), atas prakarsa Dr Muhammad Syafii Antonio, lalu Tazkia Insitut, dan SEBI (Syari’ah Economics and Banking Institute) di Jakarta, namun baru di awal 2000-an perguruan tinggi Islam tersentak dan bangkit untuk turut membuka konsentrasi ini.

Awal yang keliru

Yang menarik untuk dikaji dari fenomena pertumbuhan pendidikan ekonomi Islam di tingkat perguruan tinggi adalah kelahiran konsentrasinya di tingkat S2 yang mendahului penyelenggaraan programnya di tingkat S1. Dari beberapa sumber Majalah Gontor tertuang alasannya, yaitu karena sulitnya perizinan untuk membuka jurusan atau program studi (Prodi) pada tingkat S1, dan mudahnya izin membuka konsentrasi di tingkat S2. Pembukaan konsentrasi ekonomi Islam di S2, seperti konsentrasi-konsentrasi lain, tidak membutuhkan izin dari Bimbaga Islam Depag di Jakarta, karena penyelenggara program pascasarjana di masing-masing perguruan tinggi memang telah diberi kebebasan untuk membuka konsentrasi yang dikehendaki.

Dari tren ini, timbullah kesan ’instant’nya pola pendidikan ekonomi Islam yang ada. Tapi menurut Muhammad Gunawan Yasni SE MM, Direktur Batasa Capital dan anggota DSN (Dewan Syariah Nasional), kebutuhan dunia ekonomi syariah yang terus berkembang sangat membutuhkan orang-orang yang telah matang dalam dunia praktis bisnis syariah. Dan sangat urgen adanya inisiatif membuka konsentrasi ekonomi Islam pada strata pascasarjana maupun pelatihan-pelatihan guna mengisi kekurangan SDM-SDM tersebut.

Namun demikian, imbuh Gunawan, ke depan intensitas generasi-generasi yang belajar ekonomi dari awal lebih digiatkan dan terus dikembangkan. ”Selama ini jika kita menunggu standarisasi dari Diknas atau Depag, maka akan terlambat. Karenanya, di samping membutuhkan SDM secara instant, juga harus tetap dilakukan pendidikan intensif, dengan mengacu pada kebutuhan pasar saat ini,” ungkapnya kepada Majalah Gontor.

Masalah lain dari tren keliru di atas adalah terjadinya ketidaksinergian antar strata pendidikan yang ada. Dalam sistem pendidikan Indonesia, seseorang boleh melanjutkan studi lintas fakultas. Ini sangat disesalkan Euis Amalia, Kaprodi Mu’amalah/Ekonomi Islam UIN Jakarta. Terlebih kebijakan terkini UIN yang menghapus konsentrasi pada tingkat pascasarjana (S2) dan mengeneralkanya menjadi Islamic Studies membuat kian tidak fokusnya kajian pada tingkat tersebut. ”Ini seperti menyia-nyiakan upaya pendidikan spesialisasi yang telah mahasiswa tekuni sejak S1,” keluhnya.

Walau terlambat dibanding institusi lain, UIN kini tengah melakukan terobosan dan diharap akan menjadi model bagi institusi penyelenggara pendidikan ekonomi Islam lainnya. UIN memulainya dengan membuat laboratorium bank mini (bank syariah mini) sebagai ajang praktek para mahasiswanya. “Semuanya, baik dari teller maupun nasabah, dilakukan oleh mahasiswa sendiri. Dosen berkedudukan sebagai tutor yang hanya memberi petunjuk,” papar Prof Dr Drs H Muh Amin Suma SH MA MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.

Sarana ini merupakan yang pertama di Indonesia, dan kini banyak lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan ekonomi Islam, umum maupun Islam, pun turut berpraktek di sana. Dari sarana ini diharap agar misi mencetak ekonom Islam murni yang benar-benar berangkat dari disiplin ilmu ekonomi Islam, bukan jurusan atau spesialisasi lain, dapat terwujud.

Pencarian format

Kendala kurikulumisasi ekonomi Islam di tingkat perguruan tinggi menurut Gunawan Yasni, timbul disebabkan oleh belum adanya standarisasi kurikulum ekonomi syariah. Hingga, perguruan tinggi masih harus mencari format sendiri, menyesuaikan dengan pasar yang ada.

Pencarian format dan upaya pembuatan kurikulum yang bermutu juga dilakukan oleh STEI Hamfara. Menurut Ismail Yusanto, ketua STEI Hamfara, kurikulum yang mereka jalankan berorientasi pada market dengan mengedepankan standar kompetensi yang menganut jalan tengah, yaitu mempertimbangkan unsur normatif dan empirik.

Hamfara meracik sendiri kurikulumnya, dengan melihat kondisi kontemporer perekonomian global, memadukan sistem kurikulum ekonomi umum dan Islam. Tujuannya, selain dapat membaca permasalahan ekonomi di dunia, mahasiswa juga diharap dapat menerapkan langkah-langkah dalam memecahkan masalah ekonomi dengan pendekatan islami.

Begitu pula STEI Tazkia. Wakil Ketua Tiga Bidang Akademik STEI Tazkia, Yulizar Djamaluddin Sanrego Nz Mec menyatakan, kurikulum khusus di Tazkia merupakan kombinasi khazanah Islam dengan ilmu ekonomi Barat yang dipelajari dari Pakistan dan Malaysia. Tazkia memiliki format kurikulum sendiri, namun dengan inti kuat yang menjadi core ekonomi Islam. Yaitu: kurikulum bagi mata kuliah netral, seperti matematika dan statistik; mata kuliah khusus tentang Islam yang esensial bagi penerapan ekonomi Islam, seperti akidah dan fikih. Serta mata kuliah yang khusus mengupas tentang ekonomi Islam, baik makro maupun mikro ekonomi.

Namun, ketiadaan standar kurikulum ekonomi Islam di Indonesia, menurut Yulizar telah melahirkan kesenjangan antar perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi umum. Karena mereka bisa hanya menjadikan ekonomi Islam sebagai sebuah konsentrasi saja, bahkan ada yang menjadikannya hanya sebagai mata kuliah pilihan.

Juga, seiring dengan penerapan otonomi pendidikan, semua pihak penyelenggara pendidikan (user) memiliki peran dan peluang yang sama untuk menentukan kurikulum. Yulizar menilai fenomena ini kini sudah melahirkan perubahan paradigma. “Jika dulu kurikulum kita berdasarkan containt base approach (pendekatan isi), kini menjadi competent base approach (pendekatan kompetensi). Kalau dulu sistem kurikulum bersifat top down dan harus mengikuti instruksi pemerintah, kini buttom up,” tambah Yulizar.

Sementara itu, dalam upaya mencari warna dan karakter beda dari institusi pendidikan ekonomi Islam lainnya, SEBI (Syari’ah Economics and Banking Institute) mendahulukan pendidikan ekonomi syariah daripada konvensional. Maka SEBI berinisiatif mengombinasikan kurikulum dari dalam maupun luar negeri, seperti Universitas Internasional Pakistan, Universitas Internasional Malaysia, Yordan dan Saudi Arabia, serta kerap melakukan studi banding ke universitas-universitas tersebut.

Sigit Pramono SE Ak MSACC, Wakil Ketua Satu Bidang Akademik SEBI menyatakan, guna menengarai kendala SDM ekonom Muslim yang berkarakter khas, ke depan SEBI akan mempersiapkan tenaga pengajarnya dengan mengadakan aneka info trainer atau pula up grading dosen, serta pengembangan riset ekonomi Islam. Porsi pendidikan akuntansi juga akan kian ditingkatkan bersamaan dengan pengajaran tentang produk-produk keuangan Islam lainnya.

Dengan peningkatan bidang ini (keuangan Islam), mahasiswa diharapkan dapat fasih berbicara tentang masalah keuangan konvensional yang dapat digunakan untuk mengembangkan keuangan syariah. Ditambah pemahaman mendalam mereka tentang bangunan istimbâth fikih muamalat, dan kemampuan mereka dalam memberikan landasan pengembangan produk-produk ekonomi syariah.

SEBI juga berusaha mengembangkan ilmu ushûl al-iqtishâd. ”Ekonomi tidak boleh sekedar menggunakan hukum fikih semata, karena ekonomi menyangkut masalah sosiologi masyarakat, metode kuantitatif, maupun ekonomi politik. Karenanya, secara kongkrit, SEBI memberi komposisi kurikulum hukum keislaman (syariah), seperti fikih muamalat, ushul fikih, filsafat, dan cakupan islamiah yang cukup besar, sebanyak 30 persen. Kemudian mata kuliah dasar (rumpun umum) berbobot 20 persen, serta 50 persen bagi mata kuliah inti, seperti akuntansi dan manajemen.

Menurut Dadang Romansyah SE Ak, Sekretaris Prodi Akuntansi Syariah STEI SEBI, komposisi ini diberlakukan agar misi mencetak lulusan yang bisa masuk ke dalam segala bidang industri pun terwujud. (taufiq)

Tidak ada komentar: