Pornografi Malu-Malu Kucing

Oleh: Ahmad Taufiq Abdurrahman

Maraknya aksi dan tontonan pornografis yang dilahap oleh mata masyarakat Indonesia dewasa ini baik melalui media elektronik (TV, CD, Internet, dan lain sebagainya) atau juga tontonan harian pola dan gaya berbusana masyarakat, tutur dan sikap-sikap nyeleneh ala pornografis mereka, memang sulit untuk dicarikan pemecahannya secara integral.

Banyak pendapat, opini dan usulan seputar pola penanggulangan fenomena degradasi etika ini. Modernisasi yang tidak terantisipasi dan disikapi dengan baik, globalisasi dan revolusi teknologi yang tidak dibarengi dengan kesiapan mental masyarakat yang kemudian memaksa mereka untuk "menelan" bangkai-bangkai dan sampah hasil globalisasi, kerap dituding sebagai biang keladi fenomena degradasi moral masyarakat Melayu yang santun, pemalu dan sopan ini menjadi congkak, anarkis dan malu tapi mau (malu-malu kucing).

Sikap malu-malu kucing masyarakat Melayu ini memang sudah mentradisi dan menjadi corak tersendiri dari karakternya. Konfrontasi dan penolakan secara frontal terhadap sesuatu –walau sesuatu tersebut kurang berkenan di hati mereka- sangat sulit untuk diaplikasikan. Bahkan dalam tatanan masyarakat tertentu, sikap konfrontatif seperti ini sudah dijastifikasi sebagai sebuah tindakan yang tabu.

Hanya saja sikap malu-malu kucing ini pada perkembangan selanjutnya justru cenderung menghasilkan sikap radikalistik. Khususnya ketika "kebosanan" untuk terus terpaksa menerima sesuatu, atau juga ketika terjadi pergeseran nilai dan moral dalam diri seseorang dan erosi aplikasi diri terhadap fenomena modernitas dalam pola sikap normatif yang negatif.

Ambillah contoh reaksi radikal ala FPI (Front Pembela Islam) dalam menyikapi kebosanan mereka terhadap kebobrokan dan kefakuman social control terhadap sensitifitas keberagaman; atau juga reaksi sikap yang dimunculkan beberapa kalangan perkotaan (terlebih pada kalangan berpendidikan sekuler) dalam merespon modernitas –dalam hal ini westernisasi- terhadap pola kehidupan pribadi mereka yang cenderung lebih mengedepankan aspek individualistik hingga dalam urusan pencemaran norma liongkungan dengan kecenderungan pola hidup 'unlimited sexual life" dengan dalih HAM.

Beberapa contoh klasik tersebut hanya merupakan sekelumit contoh dampak pengejawantahan karakter "malu-malu kucing" yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia terhadap ide, isme ataupun fenomena tertentu. Fenomena pornografi–mungkin dapat dikatakan telah sangat memasyarakat- pun tidak lepas dari kecenderungan nuansa "malu-malu kucing" ini. Lihat saja tayangan di sebuah stasiun televisi yang menayangkan film dewasa ala "zaman kegelapan perfilman Indonesia" dengan tajuk "layar tancap" –atau berbagai paket tontonan massal lainnya, yang cenderung menghembuskan nafas pornografis yang terbungkus dengan rentetan potongan sensor ketat yang tetap saja masih menyisakan tarikan nafas pemirsanya untuk menerawang jauh apa yang dilakoni para aktor dalam film tersebut dalam adegan yang terpotong tersebut.

Nuansa eksploitasi tubuh, erotisme dan pornografi yang memang tengah booming pada masa "zaman kegelapan perfilman Inonesia" masa doeloe tersebut pun telah dibungkus rapih oleh label "halal ditonton" dari badan sensor film yang nota benenya memiliki kinerja (kerjasama) bersama dengan MUI. Dan tetap saja semua potongan dan sensorship tersebut masih menyisakan "petualangan imajinasi porno" pemirsanya.

Pertanyaannya adalah, dari manakah imajinasi ini terbentuk dan muncul, hingga sampai sebegitu sulitnya BSF melakukan “pemotongan radikal” adegan yang memicu imajinasi pornografis ini; ataukah memang masyarakat Indonesia-nya yang memang telah memiliki potensi untuk menampung pola pikir imajinatif pornografis ini?

Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan oleh “salah seorang kawan” yang mengatakan bahwa andai di dunai ini ada pasar yang menjual otak manusia untuk dikonsumsi, mungkin otak-otak orang Indonesia akan sangat laku terjual. Mengingat otak sadar orang Indonesia masih banyak yang fresh karena jarang digunakan secara proporsional dan maksimal, karena orang Indonesia cenderung lebih banyak mempergunakan otak imajinatifnya (otak tidak sadar) untuk bertindak.

Imajinasi dan eksploitasi otak untuk berimajinasi memang diperlukan sebagai sarana olahraga otak, namun harus diletakkan dalam koridir dan porsi serta proporsi yang positif. Dan pornografi –dalam hal ini berkembang menjadi kecenderungan seksual, walau tidak seluruhnya dapat dikatakan negatif-, andai diimajinasikan secara baik dan positif, dan tersalurkan dengan baik dan proporsional, maka akan menghasilkan sesuatu yang juga positif. Namun andai dibelenggu, maka akan menghasilkan sesuatu yang negatif –hingga dalam batasan tertentu akan menghasilkan sikap anarkis-. Demikian yang dikatakan oleh Sigmund Frued.

Sayangnya "kelebihan" SDM manusia Indonesia dalam berimajinasi ini tidak dapat teraplikasikan secara tepat guna. Hingga yang muncul kemudian adalah justru penyelewengan sikap terhadap fenomena modernitas yang “diplesetkan” menjadi fulgarisme dan pornografisme.

****

Dialog masalah sex, sampai sementara ini mungkin hanya sah dilakukan oleh kalangan terdidik dan kalangan masyarakat perkotaan saja. Banyak kalangan menengah (pendidikan dan ekonomi) ke bawah –yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia- lebih memilih sikap ambigu dalam meresponi tradisi ini. Mereka cenderung akan lebih memilih sikap mendengar sambil berdiam diri (tanpa reaksi), atau juga menolak tetapi tanpa memberikan solusi ataupun usaha membelajarkan diri dengan pengetahuan alternatif seputar sex yang memadai, bersih, aman dan benar.

Lihat saja contoh kasus yang kerap dapat kita temui di kalangan santri siswa kelas menengah atau juga beberapa jamaah taklim yang ketika menerima materi tentang pelajaran fikih yang mengupas soal masalah hubungan intim atau penjelasan tentang organ sensitiuf tertentu, mereka akan cenderung menyambutnya dengan gemuruh sorakan (dengan nada gurau). Dalam artian, bahwa mereka pada dasarnya ingin mendengar, mempelajari dan menganalisa hal tersebut, tetapi terbentur dengan faktor ketabuan untuk membicarakannya di muka publik. Dan inilah yang kemudian melahirkan sikap ambigu mereka (menerima tetapi menolaknya). Padahal sesungguhnya tema dan materi pembahasan masalah etika dan norma seks telah dibahas secara rinci -dan fulgar- oleh para ulama fikih salaf sejak ratusan tahun yang lalu. Dan fenomena ini merupakan gambaran akan “ketidaktabuan” dan keterbukaan fikih Islam dalam pembahasan mengenai masalah seks yang merupakan tema kemanusiaan.

Fenomena dilematis inilah yang menjadi sebuah masalah yang cukup krusial yang dihadapi oleh WHO (World Health Organization), sebuah badan dunia yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan program penanggulangan bahaya AIDS di dunia -dan negara-negara Muslim berkembang khususnya-. Walau memang dapat diakui bahwa negara-negara Islam (termasuk Indonesia) memiliki rate pengidap penyakit AIDS yang relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara moderat yang secara transparan membiarkan masyarakatnya hidup dalam pola "unlimited sexual life". Namun bukan berarti bahwa ancaman bahaya penyebaran dari sindroma penyakit ini tidak ada sama sekali bagi negara-negara Islam tersebut. Justru kerentanan penyebaran sindroma ini cenderung cukup membahayakan melihat perluasan jangkitan wabahnya meningkat secara cukup signifikan dari hari ke hari di beberapa negara tersebut.

(DATA ????????)

Hal ini disebabkan karena adanya benturan “wawasan dan pengetahuan” terhadap seks dengan aspek normatif masyarakat Muslim yang “mentabui” kampanye seperti ini.

Banyak kalangan menilai bahwa fenomena penyebaran dan maraknya sindroma AIDS di Indonesia ini terjadi karena degradasi pemahaman dan pelaksanaan dontrin-doktrin keagamaan yang melarang seks bebas, seks di luar nikah, atau juga penyimpangan perilaku seksual. Tetapi sebenarnya ada substansi lain yang juga patut “dipersalahkan” dalam hal ini, yakni pola karakter masyarakat yang cenderung "malu-malu kucing" dalam menerima, mengimplementasikan dan melestarikan "budaya" yang ditabukan -yakni dialog sex- untuk menjadikannya sebagai sebuah "budaya" baru yang dapat membimbing mereka menjauhi ancaman penyebaran sindroma ini. Juga keengganan masyarakat Indonesia untuk belajar lebih terbuka dan terus terang dalam menerima dan mengungkap rasa seputar fenomena seksual ini agar dapat terdata, terdeteksi dan terpelajari dengan baik (secara empirik).

Reformasi general yang hingga kini masih menjadi "misteri" dan juga sindroma "demokrasi pesakitan", masih belum mampu termanfaatkan sebagai mediasi masyarakat untuk menuju “keterbukaan diri" dalam mengganti baju tradisi. Dan batasan mengenai term "pornografi" pun masih absurd, baik dalam Undang-undang penyiaran ataupun RUU anti-pornografi yang tengah dikembangkan, yang kesemuanya juga cenderung membuka celah terjadinya penyelewengan interpretasi makna. Ditambah lagi dengan lemahnya supremasi hukum, tertib hukum dan penegakan hukum di Indonesia -yang cukup miris dapat dikatakan masih "primitif"-, juga membuka peluang dan celah bagi meluasnya pintu konsumerisme dan perdagangan perangkat pendukung dan aplikasi penopang pornografi yang dapat dengan mudah dapat diperoleh hingga di lapak-lapak VCD, CD atau DVD bajakan di berbagai trotoar jalanan yang tidak menghiraukan batasan usia pembeli. Ditambah lagi dengan keterpurukan ekonomi berperan cukup signifikan dalam menumbuhkembangkan komersialisasi pornografi ini.

Fenomena pornografi memang tengah menjadi dilema di banyak negara berkembang yang tengah menghadapi masa transisi menuju keterbukaan. Belajar dari India yang dapat menjadi negara "terhormat" dalam aspek nasionalisme, konsistensi karakter bangsa dan anti dumping state dalam swasembada produksi dan budaya, India telah cukup efektif dalam penangan untuk meredam gejolak fenomena pornografi ini. Walaupun perkembangan perfilman Bollywood dewasa ini cenderung tengah mengalami erosi kualitas dengan terjadinya "krisis erotisme dan sensualisme" sebagaimana yang juga pernah menimpa Indonesia di era "kegelapan perfilman”nya dulu yang dimaraki dengan adegan ranjang yang kurang bermutu pendidikan ataupun entertaining. Tetapi di balik itu semua, masyarakat India memiliki kekuatan dalam melawan arus akulturasi budaya yang menyimpang ini. Pakaian sari, kurtah dan berbagai busana tradisional lainnya masih dapat banyak dapat ditemui menghiasi tubuh manusia-manusia India –walau kini sedikit banyak mengalami modifikasi dan transdormasi dengan pola pakaian modern-, tetapi pada prinsipnya tetap tidak meninggalkan aspek warna pribuminya. Ditambah lagi dengan kesadaran normatif dalam kehidupan masyarakatnya.

Sangat kontras dengan fenomena akulturasi budaya dalam tradisi berbusana ala masyarakat Indonesia. Kebaya (abaya) yang 10-15 tahun yang lalu masih menutup tubuh-tubuh rampai wanita Indonesia, kini telah ter"bim-sala-bim" berubah menjadi tontonan sex dress, pakaian transparana dan eksploitasi anggota tubuh, dan berbagai trend lainnya, yang semuanya sangat mudah dijumpai di jalan-jalan perkotaan di Indonesia.

Memang akulturasi budaya merupakan salah satu dampak yang tidak dapat terelekkan dari fenomena modernisasi. Namun smua sistem etika (agama dan tradisi) pada dasarnya mengandung unsur-unsur yang jika dikembangkan dapat menjadi wahana unutk memupuk usaha modernisasi. Karena usaha modernisasi adalah “tindakan kultural yang berlangsung dalam perangkat tradisi yang dinamis (dialogis)”. (Nurkholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban). Dan juga akulturasi budaya yang nampak (outer character) seharusnya dapat dibarengi dengan berubahan budaya bathin yang tidak tampak (inner character) untuk menuju kepada keterbukaan sikap dan pemahaman (modernitas yang menyeluruh). Dan bukan dengan berdiam diri dengan penolakan radikal, atau bersikap ambigu atau malu-malu kucing dalam meresponi keterbukaan (modernitas) ini.

Identitas seseorang tercermin dari penampilan fisiknya, identitas sebuah negara pun demikian. Maraknya pornografi (dalam visi, imajinasi dan wawasan) dan pornoaksi (yang membudaya dan produk kebijakan publik) di Indonesia adalah cermin identitas diri yang ambigu, malu-malu kucing, dan -bahkan- tidak memiliki kesempurnaan kepribadian. Dan semua karakter ini menandakan kepada lemahnya pertahanan diri, masyarakat –hingga negara- dalam menghadapi gempuran modernitas dan globalisasi.

Solusinya adalah dengan membiasakan diri dengan keterbukaan tanpa dipertontonkan ketidaksiapan kita dalam menyongsong keterbukaan ini. Keterbukaan diri semua individu dari sikap ambigu, menuju pribadi yang berani dan konsisten untuk menoilak atau menerima sebuah migrasi budaya. Dengan kata lain dengan meningkatkan mutu nasionalisme yang proporsional tanpa menghilangkan corak etika dan budaya yang ada.

Pemerintah mungkin terlalu repot dan sibuk untuk mengurusi "hal sekecil" ini atau untuk mempropagandai usaha solusifnya. Andaipun produksi hukum dan undang-undang telah terpenuhi sesuai target masa sidang dan pemerintahan. Tetap saja implementasinya masih banyak menyisakan gerjolak interpretasi, yang selanjutnya tetap akan melahirkan status hukum yang juga ambigu.

Konsistensi dan ketegasan diri masyarakat Indonesia harus "direkurikulumisasi" kembali dari tatanan kurikulum bagi usia balita hingga manula. Proses menjalaninya bukan dengan membiarkan fenomena pornografi dan pornoaksi ini terus berlanjut hinga kemudian dapat menghapus budaya Melayu, atau dengan membabatnya dengan tindakan radikal. Tetapi dapat dilakukan dengan cara mereduksi wabah fenomena ini (yakni malu-malu kucing) dan dikemas kembali dalam format masyarakat yang lebih terbuka dan realistis. Seperti kasus pembiasaan dioalog seks yang lebih transparan tanpa pentabuan yang berlebihan, baik dalam tatatan keluarga, masyarakat hingga negara. Yang pada tingkatan selanjutnya, kesemuanya ini akan membiasakan rakyat Indonesia dengan "keterbukaan" visi dalam menghadapi berbagai tantangan dengan realistik, tanpa terlalu berinisiatif dengan imajinasi negatif.

Dalam tatanan agamis, hendaknya ditumbujkan kesadaran umat bahwa dialog seks sebenarnya merupakan sesuatu yang urgen dan “sah” untuk dilakukan. Karena para ulama salaf pun telah merespon dan mendiskusikan serta menuangkan pemikiran mereka seputar masalah hukum tindakan atau etika seksual -dan hubungan seksual- dalam buku fikih mereka yang berjilid-jilid. Hanya saja pola penyampaian “keterbukaan” dialog dan pembelajaran ini harus direvisi kembali dan terus dipantau kemasannya hingga dapat diterima oleh khalayak secara berlahan. Dan bukan hanya dengan “pemaksaan metodologis ataupun teoritis” melalu propaganda kolom konsultasi atupun “dialog orang dewasa” di televisi saja, tetapi harus lebih menyentuh kepada “akar budaya pembelajaran”nya, yakni keluarga hingga majlis-majlis taklim. Karena buku-buku dan bacaan ilmiah mungkin hanya akan dibaca oleh kalangan akademis dan terdidik saja, dn televisi pun hanya ditonton oleh kalangan moderat yang “haus hiburan monoton” saja. Sedangkan para guru, kiayi dan pemuka agama yang merupakan “akar aktor pembelajaran” umat dibiarkan dan luput dari perhatian urgensi peran mereka dalam upaya pengembangan wawasan kekinian ini. Justru merekalah yang sebenarnya yang paling mumpuni mengemban tugas untuk mensyiarkan “keterbukaan visi” ini. Karena dengan figuritas dan krdibelitas mereka, masyarakat luas dapat cepat ‘mengamini” segala maklumat dan wejangan mereka.

Hanya saja sosok-sosok ini kerap terlupakan dan hanya dimanfaatkan untuk beberapa saat, baik untuk urusan kampanye politik, mobilisasi masa untuk kepentingan ibadah, dan kurang menyentuh aktivitas kemanusiaan (seperti isu kampanye ancaman AIDS). Selayaknya pemerintah lebih memperhatikan mereka yang merupakan “real public figure” dan bukan sekedar pablik figur temporal ala selebritis. Kalangan pendidik ini hendaknya dapat dioptimalisasikan mobilisasinya.

Tidak ada komentar: