Di Balik Kontra-Sisdiknas

Tidak wajarkah, di negeri yang mayoritas Muslim, umat Islam meminta: agar setiap Muslim mendapatkan pelajaran agama Islam di sekolah?

Wajar aja kok, Cuma agak gak proporsional andai permintaan ini diprovokasi oleh azas kecurigaan. Sangat wajar juga andai ketakutan proses kristenisasi yang berjalan lewat lembaga pendidikan Kristen dikhawatirkan. Tapi apa kita gak kembali berikir “mengapa kita takut atau khawatir ?”. Mungkin latarbelakang kekhawatiran ini adalah lemahnya system pendidikan Islam yang ada. Indonesia Modern pasca revolusi memang sudah banyak mancleng dan lupa dari jasa2 gerakan2 kemerdekaan Islam, tapi pengabulan Gentlemen's Agreement bangsa Indonesia lewat piagam Jakara emang benar2 merupakan kompromi besar dan pengorbanan ummat Islam (dengan impian Islamisasi Indonesia menyeluruh). Itulah kedewasaan sejarah ummat Islam kita. Tapi sayangnya pertumbuhan fisik manusia dengan tambahan umur tuanya semakin semakin memanjakan siat kekanak2annya. Yang seharusnya dalam proses hampir 60 tahun kematangan demokrasi dan toleransi kita sekamin meningkat, malah childish ketuaan kita yang kian lahir untuk menggugat “kesepakatan laki2 Piagam Jakarta”. RUU sisdiknas emang luar biasa mumpunin untuk meredam konversi balita iman Muslim Indonesia. Tapi apa dasarnya pembatasan itu ?

Di negara2 berkembang, rata2 kalangan minoritas agama akan selalu dipertanyakan idealis nasionalisme. Di Indonesia kalangan oksidental non-muslim (khususnya dibelahan Timur) selalu dipertanyakan loyalitas keindonesiaannya karena mereka adalah minoritas yang menuntut hak persamaan. Dan hak persamaan ini merupakan konsekuensi integrasi loh !!. Waktu Tim-tim kabur dari daftar nama propinsi Indo, kita mencaci-maki Habibi karena kegagalan KKNnya (kecil-kecil nekad), padahal itu adalah langkah jitu untuk mengurangi tekanan luar terhadap ketidak mampuan kita untuk memberikan kenyamanan dan persamaan hak terhadap kalangan minoritas.

Di India dengan Hindu sebagai mayoritas, walau dengan konsep negara sekuler (kontras dengan Pakistan yang memang didirikan de vacto untuk kaum Muslim Hindustani), kalangan minoritas Muslim India sangat diragukan loyalitasnnya. Ummusalman India dianggap berbaju India tapi berhati Pakistan ato Arabian. Dan … kita pun merasa terdhozilimi.

Kasarnnya kita bisa berkata begini : “ini negara gue, mayoritas penduduknya adalah umat gue, jadi elo yang minoritas, elo numpang disini n lo harus ikutin aturan2 yang gue mao”, “kalo lo gak mao ikut yach silahkan cari tempat lain yang relevan buat iman lo”. Nah loh … apa ini gak childish ?? Karena masyarakat dengan kumpulan minority (walau secuil) membutuhkan sekuleritas untuk kompromi biar gak terjebak dalam perpesengketaan. Cukuplah Natsir menjadi Bapak nasionalist kita, cukuplah Hamka menjadi Bapak Sastrawan agamis kita. Andai kostum masih menjadi standar penilaian, kapan kita akan mengembangkan kedewasaan bersosial n bernegara kita.

Andai suatu saat jumlah non-muslim di Indo lebih membengkak dibanding Muslimnya, itu adalah kewajaran n patut ditelusuri kekurangan n kelebihannya. Kelebihannya adalah kita ummat Islam telah menunjukkan kedewasaan bersosial (dengan patuh terhadap himbauan program KB pemerintah, dan kedewasaan kita menerapkan kebabasan HAM beriman dan beribadah). Kekurangannya adalah kita kurang berhati2 dalam memanage pembinaan mental dan spiritual anggota keluarga kita. Seperti kenapa kita harus menyekolahkan anak kita ke lembaga non-Muslim, yach … karena kita telah mendapati nbanyak kelemahan lembaga2 pendidikan Islam yang kurang menjanjikan prospek dan skill. Madrasah yang bertumpuk kurikulumnya n hanya menghasilkan siswa alumni yang “tahu kulit” ilmu general n gak professional (berbeda dengan alumni institusi pendidikan non-muslima yang skillfull n prospektif.

Nah trus kasus Pesantren yang menolak pemberlakuan kurikulum nasional gimana ? Andai misalnya suatu saat ada siswa non-muslim mau belajar di sana.

Ada kawan beberapa waktu lalu mengadakan riset Phd komparasi pendidikan Islam Indonesia (pesantren khususnya) dengan pendidikan Islam di India. Ada sinyal dari risetnya menunjukkan kemiripan beberapa aspek, seperti radikalisme dan konservatifisme dogmatiknya. Persamaan lainnya adalah kedua-duanya menolak bekerja sama dengan kurikulum nasional, dengan alasan “pelestarian budaya asli n ruh serta target pendidikannya”. Mungkin Pesantren n Boarding school Kristen ato Vihara Buddha merupakan lembaga teologis yang “spesial” n pengecualian dapat keluar dari jebakan polemik RUU sisdiknas. Tapi lembaga2 formal lain seperti MI (Madrasah Islam), Tarakanita, Triursula ato HananKrishnan gimana ?

Waktu gue SD kawan sebangku gue ce Kristen, waktu pelajaran agama dia harus keluar kelas karena gak ada guru agama Kristen khusus yang akan mengajarkan dia tentang Biblical review ato Jesus Spirit (karena dia satu2nya non-muslim di kelas). Trus … apa logis untuk menyiapkan satu guru khusus untuk itu ?? Mungkin anggaran bisa aja dimark up untuk menghasilkan itu (anggaran pendidikan udah 20% APBN kok), tapi katanya mao irit anggaran untuk kemakmuran negara ??!!

Satu lage kawan baik ce di India ini alumni SMU Triursula, setiap pelajaran agama dia harus keluar kelas dengan alasan yang sama, tapi karena cape harus keluar masuk n gak ada staff pengajar khusus tentang keislaman di sekolah Kristen itu, akhirnya dia coba ikuti pelajaran theology kristiani, wal hasil … biasa-2 aja tuh :) sampe sekarang masih sholat n ke masjid.

Walau beberapa kasus relatif terjadi, tapi bisa jadi sintesa gue untuk menyimpulkan bahwa sekuleritas itu sangat dibutuhkan di Indonesia. Karena kita (maaf-maaf aja) udah terjebak dalam distorsi akar negara dengan harus mencantumkan dasar “Ketuhanan” sebagai bagian penting kehidupan negara yang agamis (lawan atheis), jelas konsekuensinya TOLERANSI n KOMPROMI.

Gue sangat mengharap kita lebih terbuka dalam memanage kedewasaan hidup beraneka ini. Andai anda percaya bahwa iman anda harus diapresiasikan dalam kostum (bukan cuma hati yang urusan individu), kepedulian anda akan hak orang lain untuk berkostum n berekspresi harus anda pertimbangakan. Ketakutan kita dengan persaingan dan kekalahan kita di alam global ini (dengan pola capitalism di berbagai aspek termasuk missionary n persaingan merebut simpati pasar keimanan) seharusnya menjadikan kita tertantang untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas keimanan (bukan individu aja, tapi lembaganya). Jangan “cut n distruct” ala Machiavelli (dalam pemaksaan RUU ini) kelak akan merugikan kita sendiri. Kita akan dikucilkan dari komunitas international karena kita munafiq dengan “bhineka tunggal ika”.

Pipix

New Delhi – India

Aligarh Muslim University


--- Kembali ke Muka … ---

Tidak ada komentar: