Berita selanjutnya ......
Kalo mao bicara soal penyelewengan sufism (khusus andai dikomparasi dengan aqidah sunni), akan terlihat seperti "kuda zebra di antara kumpulan kuda hitam". Sering kita dengar nama populer Al Hallaj dengan "Subhani ma a’dzama sya’ni" (o I am a Great) karena ekstasi dia telah mampu mencapai unity dengan yang agung … katanya.
Dalam tingkat komunal, kekhasan jaringan Sufis dengan tarekat (ekslusivism ato secure membershipnya) dengan kerangka "kepemimpinan" yang diwadahi oleh syeikh sebagai perantara menuju salvation ato pada ajaran yang lebih ekstrim yang menempatkan para syeikh pada posisi "juru kunci" yang mampu membuka (kasf) pintu hijab antara manusia dengan Haqiqa. Jaringan "keterpanutan" ini tidak dikenal dalam ajaran sunni pada umumnya. Kontradiksinya terletak pada pranata, di sunni gak mengenal perantara menuju Tuhan (direct path), n di tarekat harus lewat pintu pengenalan, cinta kepada gurunya.
Karenanya prolog dalam tarekat (keharusan imamat dengan dalih bahwa manusia setiap saat selalu membutuhkan pemimpin dan dalam segala sesuatu karena seseorang gak mungkin bisa hidup independent n lepas dari ketergantungan n control pemimpin) membuat gerakan ini seperti adopsasi (... mungkin istilah in kurang pas .. hehhe) dari beberapa doktrin:
- Konsepsi Imamah Syiah, bedanya imamah dalam Syiah adalah bagian dari iman n merupakan urusan Tuhan (Divine authority) dan imam (baik 12 ato 7 ato lainnya) adalah kepanjangan dari "ketetapan" (hujjah, ayat) Tuhan. Dalam sufi posisi imam (syeikh) hanya sebagai perantara spiritual n figuritasnya bukan ketetapan Tuhan yang dah paten, terbatas pada basic stage untuk menuju kepada pemahaman menyeluruh (wihdah wujud).
- Konsepsi Baptisme dalam Kristen yang menegaskan otoritas pendeta (sebagai abdi kristus) yang dapat menjadi perantara confession (pengakuan dosa) untuk tetap menjaga n menjamin kesucian manusia. Sedangkan konsepsi imamat sufi tidak mencakup otoritas ini dan hanya terbatas sebagai "panjaga gawang" menuju Tuhan, dan sebelum manusia (para sufis) benar2 telah melakukan mensucikan diri (lewat pengamalan syariah secara sempurna) … Tapi sayangnya ada beberapa penyelewengan kelompok sufi (khususnya naqshabandi) yang kelewatan syeikh-sentris banget hingga menilai bahwa sang guru bukan cuma sekedar pengantar, tapi perantara manusia dalam segala hal yang berbau dengan urusan keTuhanan (pertangungjawan di hari akhir ato ll).
- Doktrin Yatra dalam Hindu, yakni ritual penyucian diri (baik karena dosa atau cuma ibadah regular ... kalo di film2 india sering kita lihat orang berputar2 di lingkaran api) yang harus diperantarai oleh Brahmin (pandit/pendeta) karena cuma mereka yang punya otoritas itu untuk menjadi pemimpin ritual. Doktrin sufisme tenang mediasi syeikh mungkin bukan penyerapan langsung dari doktrin Hinduism, cuma sekedar kemiripan aja. Wallahu a’lam.
Dimensi dogmatis lain yang membedakan antara tarekat Naqshabandi (dalam aspek modernitas seperti yang gue tulis di milist sebelumnya) dengan tarikat lain adalah pengedepanan dimensi Syariah dibanding Tariqah. Prasarat Naqshabandis terlebih dahulu harus "mensucikan diri dengan pengamalan syariat Islam secara benar), baru kemudian melalui screening (n andai lulus) baru deh sah masuk ke dalam komunitas ini. Basic Point inilah yang membedakan Naqshabandi dengan kebanyakan komunitas sufi lainnya yang cenderung mendahulukan "recrutment" (Tariqah) dari pada dimensi Syariah.
Makanya di Naqshabandi ada istilah "alam el amal" (dimensi material) yakni fase pengenalan n pengalaman terhadap syariah (sunnah n perangkatnya). Beda dengan doktrin tarekat lainnya yang memulai aktivitasnya dengan "alam el Khaliq" (pengenalan dimensi n object supranatural –Tuhan).
Doktrin "sikap" (’amal) dalam Naqshabandi dibagi dalam 2 jenis: 1. Outer (Dzahir) yang meliputi full adherence of sunnah (menjalankan sunnah2 secara lengkap n pengamalan penuh syariat). 2. Inner (bathin) yang meliputi Hudhur (penyerahan diri secara menyeluruh kepada Tuhan –dalam zikir), n kecintaan kepada Syaikh Besar yang kehadirannya (fisik atu spirit) untuk membantu memperantarai zikir tersebut.
Dari sini Naqshabandi terkesan sangat eklusif karena diperuntukkan bagi orang2 yang benar2 dah mampu (elitis) secara spiritual, yang udah punya modal "fath" (keterbukaan mental n amal untuk melangkah ke fase selanjutnya).
Dalam Naqshabandi modern (Khalidiyah) ada 3 prinsip dasar pergerakannya:
- Rabithah yakni ikatan bathin antara murid dengan guru (guru utamanya adalah Syeikh Khalid Kurdi), baik dalam kondisi kehadiran sang guru atau absennya (mati). Dan untuk mencapai unity dengan Tuhan harus melalui meditasi n remembering of his syeikh.
- Khulwah adalah doktrin meditasi dasar selama 40 hari, ini merupakan aturan umum sebelum sang pensemedi dapat dinobatkan sebagai "anggota tetap". Ato pada tingkat "perguruan" untuk membedakan derajat para guru n kaki tangan guru (dari guru biasa hingga yang bergelar guru ‘sakti’ –sidi kamil .. heheh)
- Ghalq el Bab (closing the door) yakni aksi tutup pintu sebagai tanda eksluvisme sang sufi dengan Tuhan setelah berhasil salvation. Basic doktrin ini sebenarnya adalah pola tutup pintu keimaman besar (gak ada imam besar lain selain Khalid sang empu).
Tiga prinsip dasar ini yang kemudian diinovasi secara ilmiah modern dalam memobilisir massa n kekuatan gerakan duniawi. Rabithah Naqshabandiah merupakan kumpulan pengikut yang terikat oleh perjanjain (bai’at) antara dia dengan imamnya (sumpah akan kesetiaan n kepasrahan). Dan prinsip Khulwah diinovasikan sebagai screening process untuk mendidik pengikutnya menjadi lebih idealis. Ghalq el Bab dikembangkan sebagai aksi tutup pintu hati dari pengaruh doktrin luar n eklusivisme ini untuk menjaga establishment kepentingan2 naqshabandiah.
MABOK NAQSHABANDI deh lo ..... heuahuehauea
Pipix
Aligarh Muslim University
INDIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar