Korek Api dan Tradisi Manipulasi (Belajar Peradaban dari
Ketika saya melepas lelah di sebuah tempat umum yang terbuka, sebagai seorang perokok, hati berhasrat untuk lekas menghisap rokok, tapi ternyata saya lupa membawa korek api. Maka saya segera berinisiatif untuk membeli korek api di sebuah kedai rokok pinggir jalan. Dengan uang 500 rupiah, si pedagang memberi saya dua box korek api. Dan dengan senangnya sayapun langsung bergegas menyalakan rokok saya. Namun ketika hendak mengambil sebuah pentol korek api untuk disulutkan, saya buka box korek api yang baru saya beli –dengan box bagus, bersih dan tanpa kusut- tersebut, sayapun harus tersenyum getir. Karena ternyata kedua buah box korek api –seharga 250 rupiah- yang baru saya beli ternyata hanya terisi 2/3nya saja. Tanpa mau komplain dengan urusan "kecil" itu, sayapun hanya bisa menerimanya dengan getir.
Kejadian ini cukup menghenyakkan hati, karena baru kali itu saya membeli korek api batangan. Biasanya saya merokok dengan memakai atau membeli korek api gas yang relatif tidak 'merugikan' saya, karena isi dan bibitnya dapat terlihat secara 'transparan'. Kerugian 1/4 batang korek api yang raib dari 'hak' saya menggairhakan otak saya untuk memikirkan akan motif dan musabab manipulasi, penggarongan, penipuan dan 'kesengajaan merugikan konsum' ini terjadi –bahkan telah marak terjadi, atau mungkin mentradisi di kalangan pedagang eceran-.
Kejujuran? Sepertinya, fakta ini memang sulit untuk ditemukan di zaman kapitalistik dan konsumeristik ini. Ketika kefakiran telah banyak mendorong si miskin untuk meraih keuntungan singkat dengan 'manipulasi kecil'. Dan kitapun sepertinya sangat permisif dengan tanpa mau peduli untuk menghitung-hitung kecurangan hal-hal sekecil ini. Bagi kita, krisis ekonomoni 'makro' Indonesia, dengan moneternya yang merosot, atau kenaikan BBM lebih layak untuk dipikirkan daripada hanya 'menghabiskan waktu' untuk memikirkan kecurangan 1/4 box kecil pentol (batang) korek api yang dimanipulasi oleh para pengecer rokok pinggir jalan.
Pepatah bilang: "Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit". 1/4 box kecil (yang berisi kira-kira 10 batang) andai dikumpulkan dan diakumulasikan dengan jumlah jutaan box perjam yang terjual di seluruh Jakarta saja, bisa dibayangkan jumlah 'kerugian rakyat' akibat manipulasi massal ini!
Fenomena ini membuat kita seperti hidup di hutan rimba manusia. Ketika seseorang yang ditindas oleh keadaan, lantas ia akan menidas lainnya (tak perduli lawan atau kawan sesama wong cilik). Tak ada cinta, kepedulian dan kesadaran untuk berbuat jujur, semuanya telah tertutupi oleh kepentingan untuk menguntungkan diri dan kecenderungan meraih untung lewat mencurangi.
Lalu, dimanakah kesadaran? Modernitas dan tuntutan hidup memang telah membuat mata banyak orang gelap. “yang penting bisa makan,” kata banyak orang, tanpa peduli sumber nafkahnya –haram, halal baik atau buruknya-.
Sebenarnya sangat mudah bagi kita untuk belajar dari peradaban maupun sistem bangsa lain. Tengoklah
Karena tahu diri rakyatnya suka menipu, maka pemerintah
Di samping sangat ampuh untuk mendata devisa Negara, juga digunakan untuk melindungi konsumen dari penipuan yang memang sudah membudaya. Segel resmi itu harus ada di semua label korek api berbagai ukuran dan tipe, korek plastik maupun kayu, yang ukuran mini hingga korek api raksasa.
Dengan segel itu, pedagang jahil pun tidak bias main-main, karena pembeli tentunya akan menolak barang yang sudah tanpa segel, atau segelnya rusak. Begitulah peradaban “tahu diri” yang layak kita contoh. Andai pola simple seperti ini bias diterapkan di Indonesia, tentu konsumen tidak akan “terbiasa” dibohongi penjual, dan penjual pun akan kian jujur dan tawakkal dalam berdagang, tanpa upaya main tipu atau licik yang menzhalimi orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar