Diterbitkan: Wacana Utama Majalah Gontor, edisi November 2007
Kurangnya SDM yang mumpuni, terbatasnya referensi, dan tingginya biaya operasional, sangat mengendalai kelangsungan dan pengembangan pendidikan ekonomi Islam.
Di samping kendala umum minimnya SDM yang mengetahui penerapan ekonomi Islam, lembaga pendidikan tinggi umum yang menjalani dan mengembangkan pendidikan ekonomi Islam juga mengalami kendala terbatasnya gerak akibat kebijakan Diknas yang memutuskan pendidikan ekonomi Islam hanya dapat diterapkan dalam batas konsetrasi saja, dan tidak dapat berkembang hingga menjadi prodi (program studi), apalagi fakultas.
“Mereka selalu menanyakan pohon keilmuan ekonomi Islam itu apa ada?” tegas Yulizar Djamaluddin Sanrego Nz Mec, Wakil Ketua Bidang Akademik STEI Tazkia. Menurutnya, ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk memperbaiki kondisi ini. Yaitu: lebih mengintensifkan sosialisasi ekonomi Islam dalam bentuk penerbitan buku-buku dan riset-riset, serta maksimalisasi peran perguruan tinggi dalam meluluskan alumni yang berkompeten dan berprestasi akademis bagus.
Untuk kalangan ST (sekolah tinggi), Yulizar berharap segera dilakukannya pemetaan masalah beda kurikulum yang selama ini terjadi di sekolah-sekolah tinggi. Karena jika dibiarkan, tentu STEI akan terus bermasalah dalam mengarahkan lulusan-lulusan ataupun kurikulum yang berbasis kompetensi seperti yang dibutuhkan.
“Saya berharap adanya mata kuliah-mata kuliah inti yang ditetapkan. Paling tidak ada peran pemerintah membantu menetapkan inti dari mata kuliah. Kalau misalkan tidak ada penyeragaman, sulitnya rasanya mendeteksi kompetensi dari jurusan-jurusan yang ada untuk menyambung logika keilmuannya,” paparnya.
Kendala operasional
Walau secara optimis merasa kurikulum yang ada di lembaganya sudah cukup memadai, tetapi Prof Dr Drs H Muh Amin Suma SH MA MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengakui masih ada beberapa kekurangan. Terutama SDM tenaga akademik yang betul-betul mumpuni dalam ilmu ekonomi syariah dan mampu membuat kurikulum maupun silabus yang memadai bagi pengembangan ekonomi syariah.
Amin juga merasa, UIN masih kekurangan dalam pengadaan dosen tetap, hingga terpaksa mengandalkan tenaga para praktisi. Walau demikian, Amin mengakui sangat terbantu dengan keberadaan mereka yang sangat kompeten dalam memberi informasi kepada mahasiswa tentang keperluan ril di lapangan.
Ini juga diakui Dr Amiur Nuruddin, Dekan Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara. Menurutnya, sebagai ilmu baru yang berkembang di Indonesia, ekonomi Islam memang membutuhkan sumber daya manusia yang benar-benar paham dan berkualitas. ”Sebab pesatnya perkembangan tanpa diimbangi dengan SDM yang memadai maka akan jalan di tempat,” tegasnya. Ia berharap, ke depan ekonomi Islam hendaknya bisa menjadi bidang studi ilmu tersendiri, lantas membuka kemungkinan pengembangannya hingga fakultas mandiri, dan tidak lagi berada di bawah Fakultas Syariah.
Kendala SDM handal yang benar-benar mampu menguasai ekonomi Islam juga dirasakan IAIN SU. Selama ini SDM yang ada lebih menguasai satu bidang saja, seperti ahli syariah namun lemah di bidang ekonomi, atau sebaliknya. Kendala berikutnya adalah masalah referensi buku-buku pegangan ekonomi Islam yang masih terbatas di Indonesia. Karenanya selain dari dalam negeri, IAIN SU juga harus menggali buku-buku dari Malaysia, Pakistan dan Timur Tengah.
Masalah finansial juga menjadi kendala utama, khususnya dalam pembiayaaan penyelenggraan pendidikanya yang terbilang tinggi (high cost). Pasalnya ilmu baru yang tenaga SDM-nya masih jarang ini mendorong terjadinya pembengkakaan anggaran pembiayaan jasa sewa praktisi. ”Karena itu tidak heran jika biaya kuliah ekonomi Islam lebih mahal dibanding kuliah lainnya,” terang Amiur. (taufiq)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar