Salam.
Topik ini kayaknya pernah kita singgung deh dalam diskusi kita dulu walau mungkin dalam format yang beda. Tapi masih menarik juga seh untuk dibahas dengan sentuhan yang lebih baru. Karena emang ini tuntutan faktual n sekaligus tantangan masa depan kita semua untuk dapat menyikapinya.
Komentar gue berikut kayaknya bakal terkesan subjektif banget, karena “bentukan visi” oleh pengalaman. Gue harap yang gak setuju dengan ide gue ini harap maklum yach n mohon pengertian.
Komentar gue ini bukan soal subjektifitas n kebebasaan beriman yang individualistic. Karena secara bulat gue sangat mendukung pola ini, karena emang untuk pengembangan masa depan Indo porsi agama harus “agak disisihkan” dari tatanan lembaga (apalagi negara) karena keanekaan sensitifitas dan keragaman budaya dan keyakinan serta visi berkelakuan. Gak seperti inti forward Intan beberapa waktu yang lalu (gue lupa topic n kapan pengirimannya) berkisar soal sekulerisasi beberapa tokoh pemikir Islam dan upaya “menyisihkan” agama dari pergulatan komunal menjadi hal yang sifatnya individualistic (hegemoni pribadi) yang liberal. Juga, gue melihat sepertinya kecenderungan khalayak yang cenderung mengiyakan penguasaan system politik religius (penguasaan oleh kalangan imani Islam) buat birokrasi indo dengan alasan paten mayoritas penduduknya Islam; Tapi sekali lagi, tuntutan globalisasi dan modernisasi menantang kita untuk memilih “yes or not” terhadap agama (walau agama pada umumnya tidak menutup arus modernitasnya). Maksudnya andai kita pilih pola religiusisme, kita harus konsekuen akan kemunafikan kita akan bhineka tunggal ika, juga akan ketertinggal dalam arus globalisasi ini (karena kecenderungan semua agama adalah fundamentalis dalam pengolahan data, system dogma n ilmunya yang lamban n gak secepat ilmu paktikal sekuler n liberal (umum). Dan penempatan agama dalam “format hati” adalah jalam penyelamat stabilitas pembangunan.
Pergeseran budaya (kalo dalam bahasa kyai kampungnya “dekadensi”) sudah merupakan kewajaran. Pola metropolis yang individualistis (karena bermula dari aportunistik kepentingan hidup, kecurigaan sesama n “pengkarbitan” heterogenitas sosial) membuat kecenderungan individu2 untuk separatis dari komunitas terdekat, dan jalan pintasnya adalah cross line n pencarian wadah lain (walau jauh) untuk interaksi sosialnya dalam membrousing persamaan visi.
Pengalaman pribadi gue yang berangkat hidup dari perkampungan kumuh Jakarta dengan kondisi masyarakat yang amburadul, terlalu “care” ma urusan tetangga (mao tau aja urusan orang), n juga perbedaan sikap n visi serta wawasan, memaksa gue mencari komunitas lain (yang jauh) dari lingkungan asal gue. Komunitas Ciputat bagi gue merupakan kawasan paling perfect buat gue karena menyimpan sisi misterius kolaborasi berbagai warna n corak serta kotak2 visi yang gue mao (agama, intelektual dan kebebasan). Tapi ada juga beberapa kalangan kawan sekampung gue yang memilih urban kehidupan ke kawasan lain (seperti Blok M-Melawai untuk jadi preman ato gigolo n playboy buat cari perawan tanggung, Pasar Minggu untuk kehidupan semi klasik n semi religius, ato juga lingkungan kampus2 lain yang menjanjikan persamaan visi dengannya).
Nah perjalanan urbanisasi ini membentuk visi baru dalam diri gue untuk lebih fleksibel dalam mentolelir fenomena “aneh” di lingkungan baru gue (free sex, alcoholism, oksidental n premanism nll), n kesemuanya sangat jauh dari basic doktrin speaker masjid yang dari kecil menusuk kuping gue. Tapi betul kok bahwa suatu saat (pada akhirnya) ketika gue kembali ke lingkungan asal, gue harus menjadi a good Moslem (walau cuma formalistik).
Dalam konteks masyarakat urban (seperti halnya yang gue alami di Aligarh sebagai central urbanisasi muslim India) semua pergeseran ini cenderung dapat diterima “dengan catatan”. Ketika terjadi benturan budaya yang kontras walau di saat tersebut dapat terendam oleh “masa bodoh” n apologi karena keterasingan masing2 anggota masyarakat dengan alam barunya, tapi di lain waktu akan membentuk anarki (lebih2 kecemburuan pribumi yang terjajah). Komunitas masyarakat metropolis yang cenderung permisif dalam banyak hal (pergaulan dan keimanan) sebenarnya pada sisi terkecil masih menyimpan idealitas terhadap keyakinan leluhur (iman keturunan) tapi karena tuntutan permisif ini membuka peluang terjadinya peralihan system ideologis tergantung pada upaya para missionaries membangun visi tersurat dari berbagai propaganda mereka. (Makanya RUU sisdiknas yang sampe saat ini masih digodok di DPR dah diobok2 ma banyak kalangan Islam untuk cepet disahkan jadi UU, karena emang menguntungkan dalam banyak segi bagi counter part ABG keimanan kalangan belia muslim Indonesia).
Soal homo sexual menurut gue dapat ditolelrir deh, walau dalam konteks agama (khususnya Islam) sangat diantipatif. Penerimaan gue terhadap keberadaan manusia dengan (kelainan) birahi semacam ini sangatlah wajar timbul dalam roda kehidupan yang harus terus ada sebagai pembalance jari-jari kehidupan lainnya. Circle of live ini berputar pada satu poros, yaitu humanitas. Dalam struktur organ tubuh manusia hati adalah organ vital untuk memepercayai adanya Tuhan. Ketika hati manusia terkungkung oleh beban sosial yang membelenggunya, maka kemungkinan pemberontakan akan terjadi (ekstrimnya … atheisme). Ketika salah satu jari-jari roda ini putus oleh pemaksaan atau sebab kelebihan beban yang tidak berimbang, maka laju roda gak bakal mulus. Inilah alasan penerimaan gue terhadap legalisasi komunitas “kelainan kecenderungan nafsu” ini. Bukan karena alasan gue fans Madonna atau Kelly tapi alasan humanitas mereka, dan keharusan kita untuk menerima keanehan ini sebagai kewajaran karena mereka adalah manusia yang memiliki kecenderungan sexual mendasar dan berbeda (yang kata Frued konsumsi yang harus terpenuhi). J
Dan legalisasi dan pelembagaan “kawanan” ini juga penting dibanding harus berpura2 (muna) ma fakta, karena pelembagaannya bakal menghasilkan dimensi baru dalam percaturan sosial kemasyarakatan kita, dengan banyaknya kajian, pendataan n alokalisasi. Juga “melek” n keterbukaan masyarakat akan tipikal makhluk2 ini juga akan mempermudah kehatian2an kita (kelak sebagai orang tua) agar anak kita gak terperangkap dalam lembah itu. Serta di sisi lain akan mempermudah upaya pencegahan penularan penyakit berbahaya.
Juga keterbukaan kita dengan fenomena ini bukan berarti kita menghalalkan kelakuan ini untuk diri kita, tapi toleransi kita terhadap fenomena ajaib alam ini memang harus diberdayakan.
Di India ada sebuah hal istimewa dalam memperlakukan para waria (bencong). Ada keyakinan umum n mentradisi di india ini bahwa para waria adalah "ciptaan khusus" Tuhan. mereka harus dihormati, gak boleh diejek atau disakiti. nah simpati inilah yang harus kita bangun bagi para kalangan waria n guys. Walau simpati kita berakar dari rasa prihatin kita dan upaya meluruskan mereka. Makanya pelembagaan mereka sangat penting agar mereka punya habitat tersendiri, dan dapat hidup sebagai manusia sosial. Karena "ciptaan khusus" ini merupakan fenomena sisi lain dalam dimensi manusia, yang hanya dapat terfahami oleh HATI.
Heal the World Mann !!
(Seriussssss lageeeee … heauheuheuhu)
Pipix
AMU – India--- Kembali ke Muka … ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar