Partai Agama Sulit Jadi Mayoritas



Akhir bulan lalu, seorang kawan milist memposting berita dari sebuah media massa yang memaparkan hasil riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang mengindikasikan tidak akan lakunya partai Islam dalam pemilu 2009 mendatang. Dengan tangkas, seorang kawan lainnya menimpali: “Partai agama itu jelas enggak bakalan laku dan enggak boleh laku. Partai kok agama. Jelas enggak bisa dong. Kenapa? Karena penduduk suatu negara itu adalah bermacam-macam agama dan kepercayaan. Kalau partai agama itu menang maka dia kan berarti diskriminatif dan rasis hanya akan mementingkan pemeluk agamanya saja. Kalau mereka bilang tidak demikian. Ya sudah bikin aja partai umum, ngapain pake bawa nama agama segala. Berarti jelas partai pakai nama agama sia-sia dan absurd enggak perlu. Yang harus diperhatikan bukan kepentingan satu agama saja tapi semua penduduk di negeri itu walaupun agama lainnya cuma satu orang jumlah penduduknya. Semua orang sama hak dan kedudukannya di depan hukum negeri itu apapun agamanya.”

Singkat saya mengomentari dengan mengawali nukilan jargon almarhum Cak Nur: "Islam Yes, Partai Islam No." Saya tambahkan: Perkiraan dan analisis LSI rasanya agak mendekati betul. Karena memang kecenderungan "perut" masyarakat saat ini lebih terdepankan daripada kebutuhan "hati" (iman). Kalo kita miskin, ekonomi susah, jelas ibadah jadi gak asyik khan?

Tapi, partai-partai agama itu arifnya harus ada. Sebab bisa menjadi kendaraan akomodatif bagi kalangan agamawan untuk apresiasi nilai dan semangat politik kekuasaannya. Walau memang kekhawatiran kita terhadap sejarah "kegelapan" Barat dulu yang terdomplengi gereja akan terulang jika agama masuk ranah politik. Makanya dilakukan sekularisasi. Tapi sekularisasi tidak boleh menolak demokrasi. Jika memang kelak masyarakat pemilih sudah "haus" dengan nuansa politik agamis dan bosan dengan jargon-jargon naslionalis maupun pluralis, yach sudah terimalah itu sebagai "suratan" demokrasi. Jangan bersikap ala politik luar negeri AS yang ambigu, teriak-teriak demokrasi tapi ketika FIS (partai Islam di Aljazair) menang pemilu demokratos, malah negara itu diboikot ato dicap "fundamentalis".

Untuk atmosfir politik Indonesia, agama memang masih akan terus menjadi warna yang menarik. Bukan hanya marak berdiri partai Islam, tapi partai cap nasionalis juga berupaya merebut "kue" suara dari kalangan agamis. Liat deh PDI-P yang sudah menyiapkan "lubang" tuk kalangan agamis di Baitul Muslimin. PDI-P sadar, itu sangat bisa menjadi peluang mereka menarik simpati kaum islamis.

Konflik agamis-nasionalis sepertinya sudah mulai lahir lagi akhir-akhir ini. Asiknya, kalo dimunculkan kembali kekuatan "Nasakom" ala Soekarno dulu, tuk menjembatani konflik agamis-nasionalis-komunis. Tapi mungkin sekarang minus komunis. Yang agamis nasionalis rasanya sudah banyak. Mereka bisa "jualan" agama dan nasionalisme tuk memenuhi pundi-pundi rejeki mereka. Setelah berkuasa, lupakan deh agamanya, korupsi lagi, mau pemilu, tobat dulu sebentar.

3 Oktober 2008

--- Kembali ke Muka … ---

Tidak ada komentar: