Perlunya Belajar Ilmu Perbandingan Agama


Suatu ketika, milist tempat saya diskusi rame dengan bantah-bantahan seputar isu kritenisasi dn pemurtadan. Seorang milister memposting berita misi kristenisasi yang menggunakan propaganda “wacana” pemburukkan potret Islam dengan mengatakan bahwa ibadah umat Islam itu paganis yang menyembah patung.

Tergugah mengomentarinya, saya menulis: Patung? Apa sih patung itu? Menurut kamus bahasa Indonesia kontemporer yang tebal itu, patung adalah: tiruan bentuk orang, hewan dan sebagainya yang terbuat dari batu atau kayu, yang dibuat dengan cara dipahat atau dicetak. Definisi ini sangat jelas untuk menilai, apakah Ka'bah itu patung? Apakah salib, "gambaran" Maria dan Gauthama itu patung?

Polemik dan bantah-bantahan dalam isu ini sudah klasik, dan masih terus bergulir, juga gak akan ada habisnya hingga kiamat. Tapi isu inilah yang sangat "merakyat", dan menjadi perseturuan hingga menghasilkan konflik agama. Karena memang "ushul", dasarnya keyakinan sebuah agama.

Sepanjang kajian perbandingan agama yang pernah saya lakukan, ternyata semua agama samawi –kecuali Yahudi- adalah agama misi. Agama misi, biasanya membawa pesan yang harus disampaikan kepada orang-orang yang belum mengimani agama tersebut. Karena misi inilah, maka Islam dan Kristen -yang paling dominan menebar misi- sangat sering bentrok "kepentingan" menggaet orang-orang "luar". Pertarungan ini layaknya pertarungan caleg n parpol meraih simpati dan suara menjelang pemilu :) (Maaf, mungkin analoginya sangat kurang tepat).

Tapi, itulah suratan alam, harus ada persaingan agar dunia ini terus dinamis. Tinggal bagaimana "orang-orang yang beriman" dengan agamanya menyikapi kewajibannya menjalankan penebaran misi agamanya. Bisa dengan wacana (otak), bisa juga dengan fisik, tenaga dan materi. Semua berbalik kepada objek yang disasar misinya itu. Kalo dia punya basis keimanan, tentu dia gak akan tergiur "penawaran" agama baru lantas mengkonversi keyakinannya.

Cuma masalahnya, kedewasaan dan basis keimanan kebanyakan umat-umat beragama di Indonesia, juga di banyak negara lain, cenderung lemah, ato dalam istilah kawan-kawan diposting yang lalu "kebayi-bayian"-. Lemah karena pengaruh sekularisme yang berupaya mengeleminir peran agama secara politis maupun sosial, atau juga liberalisme yang oleh kalangan yang "kurang dalam" wawasan dan keimanan agamanya akan sangat
memudahkan mereka tergoyahkan iman, lantas berkonversi. Atau pula jerat hedonisme dan materialisme yang menganak-tirikan agama.

Pertarungan ini akan terus terjadi sampai akhir zaman. Namun kita butuh dinamika ini, agar agama dapat terus menarik untuk dikaji dan didalami, serta tidak kalah dengan upaya eleminasi agama dari kehidupan publik dan sosial. Memang resikonya, kalo agama masih ada, dan bahkan jika bisa begitu dominan dalam masyarakat, akan muncul kecenderungan kaum-kaum sempalan yang "merasa" mayoritas tuk menaklukkan yang minoritas. Tapi itulah hukum alam, homo homini lupus. Kita cenderung terdorong untuk selalu menaklukkan orang lain. Nah di situlah butuh kedewasaan beragama.

Bijaknya, masalah pertarungan ini menjadi bahan diskusi internal masing-masing agama untuk "berjuang" menjaga atau menambah anggotanya. Saya rasa para "petinggi" semua agama sangat tahu dengan "tantangan" ini dan berupaya berjuang melaksanakan kewajiban masing-masing tuk membesarkan agamanya. Cuma tinggal cara implementasi dan pengejwantahannya aja yang harus memperhatikan etika. Etika untuk tidak secara konfrontatif berhadapan mengambil anggota agama lain, atau menjalankan cara-cara "gak dewasa" tuk mengkonversi keyakinan anggota baru. Sebab itu rentan memicu konflik langsung.

Karena sensitifnya isu ini, kalo gak salah dulu di sebuah negara bagian di India –saya lupa namanya-, sekitar tahun 2001-2003an, melalui jalur politis sempat diupayakan berlakunya undang-undang anti-konversi agama. Karena, penguasa negara bagian itu –yang mayoritas Hindu- sangat kuatir dengan pesatnya perkembangan Islam dan Kristen di wilayahnya. Entah gimana nasib UU itu sekarang. Silahkan lacak deh.

So, kita semua memang harus belajar perbandingan agama, untuk mewawaskan diri dan masyarakat kita tentang agama yang kita anut saat ini. Agar budaya konversi keyakinan yang "instan" tidak terjadi. Alhamdulillah saya dipercaya kampus saya mengajar materi agama, bukan cuma Islam, tapi semua agama yang dianut mahasiswa. Saya ajarkan mereka "pengetahuan dasar" agama secara komparatif. Tidak menonjolkan perbedaan, tetapi saya tarik benang merah persamaan dan pendekatannya.Karena itulah pintu awal dialog, pengertian, dan kesadaran beragama semua orang.

Pesan yang selalu saya sampaikan tuk mahasiswa-2 saya –yang beragama beda-beda itu-: Jangan bodoh untuk lekas berpindah agama, tolong kaji dulu lebih dalam agama yang kini diyakini. Kalo tidak menemukan "kebaikan", bukan berarti agama itu buruk, tetapi memang kajian, daya nalar dan rasa keagamaan kita yang bolot :) Jadi, jangan salahkan agama, jangan burukkan agama. Terlebih agama orang lain. Lalu, ketika kita mengkaji sebuah agama, jangan gunakan pisau analisis keyakinan kita, karena hanya keburukan yang akan kita temui.

Saya meyakini, agama adalah panggilan nurani, yang terbentuk secara evolutif. Ketika ajaran sebuah agama dijalankan penganutnya, kecenderungan fluktuasi keimanan pasti ada. No body perfect, but all religions were the perfect paths for their believers, with the aim to make them a goodman with good deeds.

12 September 2008

Tidak ada komentar: